BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sistem respirasi manusia mempunyai gambaran desain umum
yang dapat dihubungkan dengan sejumlah aktivitas penting. Secara esensial
tentunya sistem ini terdiri dari permukaan respirasi dan bercabang menjadi
pasase konduksi yang membentuk pohon pernafasan. Permukaan respirasi ini sangat
luas kurang lebih 200 m2, dan membentuk sesuatu yang sangat tipis, barier yang
lembab untuk udara dan kapiler darah mengelilingi berjuta-juta kantong yang
disebut alveolus yang akhirnya membentuk suatu massa paru-paru. Bila pada saluran pernafasan
mengalami gangguan maka akan mengganggu proses respirasi, seperti adanya gedera
yang memerlukan tindakan darurat.
Keadaan Gawat Darurat Keadaan yang
menimpa seseorang atau banyak orang
akibat suatu perjalanan penyakit atau rudapaksa. Terjadinya secara Mendadak Dimana saja Menyangkut siapa
saja. Sifatnya mengancam jiwa dan perlu penanganan segera secara Cermat, Tepat,
Cepat. Bila tidak segera ditangani mengakibatkan kematian, kecacatan,
kehilangan anggota tubuh, dan sebagainya.
Pernafasan
dapat terganggu dengan beberapa cara obstruksi jalan nafas, perubahan gas dalam
paru-paru yang tidak normal, kondisi yang
mempengaruhi fungsi paru-paru.
Tersedak
makanan merupakan penyebab kematian yang tidak disengaja keenan yang paling
sering terjadi. Sekitar 80 % AFB pada anak adalah bahan makanan, yang sering
adalah kacang tanah atau kacang-kacangan lain. Sekitar 10% AFB adalah logam.
Orang dewasa yang ompong atau terganggu secara neurologis atau mental dapat lebih
mudah mengalami aspirasi benda asing. AFB paling sering terletak di bronkus
utama kanan pada anak-anak berusia lebih dari 3 tahun. Pada anak-anak berusia
kurang dari 3 tahun, distribusi antara kanan dan kiri hampir sama.
Oleh
karena itu, kita sebagai perawat perlu mengetahui tindakan-tindakan darurat
yang bisa dilakukan pada pasien dengan gangguan obstruksi jalan nafas untuk
membebaskan jalan nafas. Dalam penjelasan makalah ini terdapat berbagai
tindakan darurat yang bisa diterapkan pada pasien dengan gangguan obstruksi
jalan nafas.
B. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan kerya tulis ini, ibedakan menjadi tujuan umum dan tujuan
khusus.
1.
Tujuan Umum
Untuk mengetahui gambaran mengenai konsep dasar obstruksi jalan nafas dan
cara penanganan darurat pada pasien dengan gangguan obstruksi jalan nafas.
2.
Tujuan Khusus
a.
Untuk mengetahui pengertian obstruksi jalan nafas
b.
Untuk mengetahui klasifikasi obstruksi jalan nafas
c.
Untuk mengetahui penyebab obstruksi jalan nafas
d.
Untuk mengetahui tindakan diagnosis pada gangguan
obstruksi jalan nafas
e.
Untuk mengetahui cara perawatan pada pasien dengan
obstruksi jalan nafas
f.
Untuk mengetahui tindakan-tindakan darurat yang umum
dapat dilakukan pada pasien dengan obstruksi jalan nafas seperti tindakan :
a.
Abdominal Thrust, Chest
Thrust, Back Blow
b.
Intubasi endotrakeal
c.
Laringotomi dan trakeostomi
d.
Krikotiroidotomi
C. Sistematika Penulisan
BAB I : Terdiri dari
bahasan tentang Pendahuluan yang berisi tetang latar belakang dibuatnya makalah
tentang Prosedur tinkan kegawatdaruratan pada pasien dengan obstruksi jalan
nafas, selain itu juga Bab ini berisi tetang tujuan disusun makalah ini, serta
bab ini juga berisi tentang sistematika penulisan dari makalah ini.
BAB II : Terdiri dari
bahasan tentang Pembahasan yang berisi tentang pengertian obstruksi jalan
nafas, Klasifikasi Obstruksi Jalan Nafas, Penyebab Obstruksi Jalan Nafas,
Diagnosis, Perawatan Obstruksi Jalan Nafas, Metode Umum Penanganan Darurat
Obstruksi Jalan Nafas berupa tindakan-tindakan seperti : Abdominal Thrust,
Chest Thrust, Back Blow, Intubasi
Endotrakeal, Krikotoroidotomi.
BAB III : Terdiri dari
bahasan tentang Penutup yang berisi tentang kesimpulan dari isi makalah ini dan
saran-saran dari penyusun.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Obstruksi Jalan
Nafas
Obstruksi jalan napas atas adalah gangguan yang
menimbulkan penyumbatan pada saluran pernapasan bagian atas.
B. Klasifikasi Obstruksi
Jalan Nafas
Beberapa gangguan yang merupakan obstruksi pada jalan napas atas,
diantaranya adalah :
1. Obstruksi Nasal
Merupakan tersumbatnya
perjalanan udara melalui nostril oleh deviasi septum nasi, hipertrofi tulang
torbinat / tekanan polip yang dapat mengakibatkan episode nasofaringitis
infeksi.
2. Obstruksi Laring
Adalah adanya penyumbatan
pada ruang sempit pita suara yang berupa pembengkakan membran mukosa laring,
dapat menutup jalan dengan rapat mengarah pada astiksia.
C. Penyebab Obstruksi Jalan
Nafas
1. Obstruksi Nasal
a.
Tumor hidung
b.
Faktor rass
c.
Karsinoma
Nasofaring
d.
Virus Epstein
Barr
e.
Letak
geografis
f.
Jenis kelamin
: laki-laki > wanita
g.
Faktor
lingkungan (iritasi bahan kimia, kebiasaan memasak dengan bahan/bumbu masakan
tertentu, asap sejenis kayu tertentu).
h.
Faktor
genetik
i.
Polip hidung
j.
Akibat reaksi
hipersensitif / reaksi alergi pada mukosa hidung
k.
Aspirasi
benda asing seperti kacang-kacangan, dan sebagainya
2. Obstruksi Laring
a.
Kuman aerob
dan anaerob
b.
Abses
Peritonsil (Quinsy)
c.
Disebabkan
oleh kuman streptococcus beta hemolyticus, streptococcus viridans dan
streptococcus pyogenes.
d.
Tersedak
benda asing seperti permen, koin, kelereng, bakso, dan sebagainya.
e.
Cedera
kepala, mandibula, laring, trakea, dan sebagainya.
D. Diagnosis
Sebelum
melakukan tindakan pertolongan pada pasien
sebaiknya dilakukan diagnosis untuk menetukan bahwa jalan nafas pasien
mengalami obstruksi dini. Amatilah bunyi nafas, kegelisahan dan kebingungan,
sianosis pada membrane mukosa ( sering merupakan tanda yang sulit untuk
dideteksi ), keringat dan hipertensi ( disebabkan oleh retensi karbondioksida
), denyutan yang cepat ( kemudian menjadi lambat ketika terjadi gagal
miokardium ), pergerakan yang kuat pada dinding dada, dan interkostal serta
subcostal yang tertarik kedalam.
·
Jika terdapat bunyi nafas wet bubbling, berarti
terdapat cairan didalam saluran nafas, yang perlu dikeluarkan.
·
Jika terdapat bunyi stridor
inspirasi, mungkin laring tersumbat
·
Jika terdapat bunyi to-and-fro
stridor, mungkin trakea yang tersumbat
AFB
harus dicurigai berdasarkan anamnesa dan
pemeriksaan fisik. Foto dada harus selalu dilaksanakan, dengan pemahaman bahwa
sebagian besar AFB tidak radiopak. Foto saat inspirasi dan ekspirasi mungikin
diperlukan pada beberapa kasus, karena udara yang teperangkap dapat menjadi
satu-satunya indikasi radiografik objek yang nonradiopak. Bronkoskopi AFB
sering diperlukan untuk menegakkan diagnosis definitive dan harus diteruskan
jika kecurigaan klinis tinggi, meskipun menghadapi temuan negative pada
radiografi dada. Fluoroskopi C-arm dapat membantu, terutama untuk AFB yang
terletak dibagian perifer cabang saluran nafas.
E. Perawatan Obstruksi Jalan
Nafas
Segera
setelah mengetahui bahwa pasien mengalami obstruksi jalan nafas untuk dilakukan
tindakan yakni dengan mengekstensikan leher pasien dan tarik rahang kea rah
depan. Keluarkan sisa muntahan dan benda asing dari faring dengan jari tangan.
Lalu masukkan oropharingeal airway.
Jika
terdapat bising pada pernafasan, gelisah dan berusah untuk bernafas, maka perlu
dilakukan intubasi saat pasien masih sadar atau setengah sadar.
Jika
pasien tidak sadar, maka dapat dilakukan intubasi seolah-olah pasien
dianastesi.
Jika
perawat atau tenaga medis menduga bahwa pasien mendapat sedera kolumna
vertebrata, maka dengan mengekstensikan leher untuk memasukkan pipa trakea
mungkin akan mengakibatkan cedera pada medulla spinalis. Untung, kebanyakan
cedera pada kolumna vertebrata adalah bentuk fleksi, sehingga ekstensi sedikit
atau posisi netral yang diperlukan untuk intubasi tidak membahayakan asal perlu
hindari ekstensi berlebihan.
Jika
intubasi gagal atau tidak praktis, lakukan laringotomi dengan jarum, atau
pisau, atau tindakan trakeostomi.
Sayangnya, penatalaksanaan laringotomi temporer sulit dilakukan.
Jika
pasien mendapat cedera maksilofacialis, mungkin perlu dilakukan menarik lidah
pasien kedepan dengan forcep atau sepotong kain, atau memasukkan kateter
nasotrakeal, atau memberikan tampon postnasal. Kadang-kadang diperlukan
aspirasi bronkoskopik.
F. Metode Umum Penanganan Darurat
Obstruksi Jalan Nafas
Terdapat
banyak keadaan yang akan menyebabkan kematian dalam waktu singkat, tetapi
semuanya berakhir pada satu akhir yakni kegagalan oksigenasi sel, terutama otak
dan jantung. Usaha yang dilakukan untu mempertahankan kehidupan pada saat
penderita mengalami keadan yang mengancam nyawa yang dikenal sebagai “Bantuan
Hidup” (Life Support). Bila usaha Bantuan Hidup ini tanpa memakai cairan
intra-vena, obat ataupun kejutan listrik maka
dikenal sebagai Bantuan Hidup Dasar (Basic Life Support).
Yang harus dilakukan pada BHD adalah :
a.
Airway (jalan nafas)
b.
Breathing (pernafasan)
c.
Circulation (jantung dan
pembuluh darah)
Jika seorang pasien dapat melangsungkan hidupnya
akibat cedera semula, maka resiko berikutnya yang harus dihadapi adalah masalah
obstruksi jalan nafas. Prioritas utama anda adalah memastikan apakah ia dapat
bernafas. Akan berbahaya apabila terdapat :
a.
Tidak sadar akibat cedera
kepala yang mengakibatkan depresi reflex batuk dan menyebabkan tidak
terkontrolnya lidah dan rahang
b.
Wajah, mandibula, atau leher
mengalami cedera
c.
Wajah atau saluran nafas
terbakar
d.
Laring atau trakea mengalami
cedera, walaupun agak jarang terjadi
Satu-satunya
tindakan yang penting dalam mencegah obstruksi jalan nafas adalah memastikan
bahwa pasien dibawa dalam posisi pemulihan. Setelah itu, pengelolaan
selanjutnya adalah dengan metode yang dipergunakan untuk mencegah obstruksi
saat anastesi. Hal ini berdasarkan
Prinsip Dasar dari penanganan pada pasien dengan gangguan obstruksi jalan
nafas. Kebanyakan metode yang
diberlakukan dapat dengan cepat diterapkan, tetapi jika salah satu metode gagal
dilakukan, dapat dicoba metode lainnya. Biasanya dengan metode pertama sudah
cukup berhasil. Jika gagal, dan pasien dalam keadaan sadar atau setengah sadar,
coba lakukan “awake intubation”. Cara ini aman karena tidak menimbulkan
distress, dan dapat diterapkan sesering mungkin. Laringotomi dan trakeostomi
jarang diperluka, tetapi apabila pasien benar-benar memerlukannya, maka harus
dilakukan secara urgen untuk menyelamatkan jiwanya. Anda akan menemukan bahwa
anda sering melakukan intubasi, namun laringotomi dan trakeostomi jarang.
Pelaksanaanya sulit dilakukan.
Tindakan-tindakan
darurat yang umum dilakukan pada penderita dengan gangguan obstruksi jalan
nafas :
1. ABDOMINAL THRUST, CHEST
THRUST, BACK BLOW
a. Tujuan
Untuk menghilangkan obstruksi di
jalan napas atas yang disebabkan oleh
benda asing.
b. Indikasi
Tindakan ini dapat
dilakukan pada pasien dengan obstruksi jalan nafas atas yang ditandai oleh beberapa atau semua dari tanda
dan gejala berikut ini :
1. Secara mendadak tidak dapat
berbicara.
2. Tanda-tanda umum
tercekik—rasa leher tercengkeram
3. Bunyi berisik selama inspirasi.
4. Penggunaan otot asesoris selama bernapas dan
peningkatan kesulitan bernapas.
5. Sukar batuk atau batuk tidak efektif atau tidak
mampu untuk batuk.
6. Tidak terjadi respirasi
spontan atau sianosis
7. Bayi dan anak dengan distres respirasi mendadak
disertai dengan batuk, stidor atau wizing.
c. Kontra indikasi
1. Pada klien sadar, batuk
volunter menghasilkan aliran udara yg besar dan dapat menghilangkan obstruksi.
2. Chest thrust hendaknya tidak
digunakan pada klien yg mengalami cedera dada, seperti flail chest, cardiac
contusion, atau fraktur sternal
3. Pada klien yg sedang
hamil tua atau yg sangat obesitas, disarankan dilakukan chest thrusts.
4. Posisi tangan yg tepat
merupakan hal penting untuk menghindari cedera pada organ-organ yang ada
dibawahnya selama dilakukan chest thrust.
d. Peralatan
1. Suction oral, jika tersedia.
2. Magill atau Kelly forcep dan laryngoscope (untuk
mengeluarkan benda asing yang dapat dilihat di jalan napas atas).
e. Persiapan Klien
1.
Posisi klien—duduk, berdiri atau supine.
2.
Suction semua darah/mukus yg terlihat dimulut klien.
3.
Keluarkan semua gigi yg rusak/tanggal.
4.
Siapkan untuk
dilakukan penanganan jalan napas yg definitif, misalnya cricothyrotomi.
f. Prosedur
Tindakan
1.
Abdominal
Thrust
a)
Jika pasien dlm keadaan berdiri/duduk:
1. Anda berdiri di belakang klien
2. Lingkarkan lengan kanan anda dengan tangan kanan
terkepal, kemudian pegang lengan kanan tsb dg lengan kiri. Posisi lengan anda pd
abdomen klien yakni dibawah prosesus xipoideus dan diatas pusat/umbilikus.
3. Dorong secara cepat (thrust
quickly), dengan dorongan pada abdomen ke arah dalam-atas.
4. Jika diperlukan,
ulangi abdominal thrust beberapa kali utk menghilangkan obstruksi jalan
napas.
5. Kaji jalan napas secara sering
utk memastikan keberhasilan tindakan ini.
b) Jika
pasien dlm keadaan supine/unconcious:
1. Anda mengambil posisi
berlutut/mengangkangi paha klien.
2. Tempatkan lengan kiri anda
diatas lengan kanan anda yg menempel di abdomen tepatnya di bawah prosesus
xipoideus dan diatas pusat/umbilikus.
3. Dorong secara cepat (thrust
quickly), dengan dorongan pada abdomen ke arah dalam-atas.
4. Jika diperlukan, ulangi abdominal
thrust beberapa kali utk menghilangkan obstruksi jalan napas.
5. Kaji jalan napas secara sering
utk memastikan keberhasilan tindakan ini.
6. Jika mungkin, lihat secara
langsung mulut dan paring klien dengan laringoskopi dan jika tampak utamakan
mengekstraksi benda asing tersebut menggunakan Kelly atau Megil
forcep.
2.
Chest Thrust
a) Jika posisi klien duduk/ berdiri:
1. Anda berdiri di belakang klien
2. Lingkarkan lengan kanan anda dengan tangan kanan
terkepal di area midsternal di atas prosesus xipoideus klien (sama seperti pada
posisi saat kompresi jantung luar).
3. Lakukan dorongan (thrust)
lurus ke bawah ke arah spinal. Jika perlu ulangi chest thrust beberapa kali utk menghilangkan obstruksi jalan
napas.
4. Kaji jalan napas secara sering
utk memastikan keberhasilan tindakan ini.
b) Jika posisi klien
supine:
1. Anda mengambil posisi
berlutut/mengangkangi paha klien.
2. Tempatkan lengan kiri
anda diatas lengan kanan anda dan posisikan bagian bawah lengan kanan anda pada
area midsternal di atas prosesus xipoideus klien (sama seperti pada posisi saat
kompresi jantung luar).
3. Lakukan dorongan (thrust)
lurus ke bawah ke arah spinal. Jika perlu ulangi chest thrust beberapa
kali utk menghilangkan obstruksi jalan napas.
4. Kaji jalan napas secara sering untuk memastikan keberhasilan tindakan ini.
c) Jika mungkin, lihat secara
langsung mulut dan faring klien dengan laringoskopi dan jika tampak utamakan
mengekstraksi benda asing tersebut menggunakan Kelly atau Megil
forcep.
3.
Back Blow & Chest Thrust
a) Pada klien Bayi
1. Bayi diposisikan prone diatas lengan
bawah anda, dimana kepala bayi lebih rendah dari pada badannya.
2. Topang kepala bayi dengan memegang rahang bayi.
3. Lakukan 5 kali back blow
dengan kuat antara tulang belikat menggunakan tumit tangan anda.
4. Putar bayi ke posisi supine,
topang kepala dan leher bayi dan posisikan di atas paha.
5. Tentukan lokasi jari setingkat
dibawah nipple bayi. Tempatkan jari tengah anda pada sternum dampingi
dengan jari manis.
6. Lakukan chest thrust dengan cepat.
7. Ulangi langkah 1-6 sampai benda asing keluar
atau hilangnya kesadaran.
8. Jika bayi kehilangan kesadaran, buka jalan napas
dan buang benda asing jika ia terlihat. Hindari melakukan usapan jari secara
“membuta” pada bayi dan anak, karena benda asing dapat terdorong lebih jauh ke
dalam jalan napas.
b)
Pada
klien Anak usis 1-8 tahun
a. Untuk klien yg berdiri/duduk:
1. Posisi anda dibelakang klien.
2. Tempatkan lengan anda dibawah aksila, melingkari
tubuh korban
3. Tempatkan tangan anda melawan abdomen klien,
sedikit di atas pusar dan dibawah prosesus xipoideus.
4. Lakukan dorongan ke atas (upward thrusts)
sampai benda asing keluar atau pasien kehilangan kesadaran.
b. Untuk klien pada posisi
supine:
1. Posisi anda berlutut disamping
klien atau mengangkangi paha klien.
2. Tempatkan lengan anda di atas
pusar & dibawah prosesus xipoideus.
3. Lakukan thrust ke atas
dengan cepat, dengan arah menuju tengah-tengah dan tidak diarahkan ke sisi
abdomen.
4. Jika benda asing terlihat, keluarkan dengan
menggunakan sapuan jari tangan.
g. Komplikasi
1. Nyeri abdomen, ekimosis
2. Mual, muntah
3. Fraktur iga
4. Cedera atau trauma pada
organ-organ dibawah abdomen atau dada.
h. Pendidikan
Kesehatan untuk Klien
1. Makan secara perlahan perlahan
2. Potong makanan menjadi kecil-kecil
3. Kunyah makanan hingga halus
4. Jangan mengobrol dan tertawa
saat mengunyah
5. Pastikan gigi atau gigi palsu anda dalam keadaan
baik
6. Duduk saat makan
7. Jaga makanan / mainan yang berukuran kecil / keras
seperti kacang, agar jauh dari jangkauan anak di bawah 3 tahun
8. Larang anak berjalan atau lari
saat makan untuk menurunkan kemungkinan aspirasi makanan.
2. INTUBASI ENDOTRAKEAL
1. Pengertian
Menurut Hendrickson (2002), intubasi adalah
memasukkan suatu lubang atau pipa melalui mulut atau melalui hidung, dengan
sasaran jalan nafas bagian atas atau trakhea. Pada intinya, Intubasi
Endotrakhea adalah tindakan memasukkan pipa endotrakha ke dalam trakhea
sehingga jalan nafas bebas hambatan dan nafas mudah dibantu dan dikendalikan.
2. Tujuan
Tujuan dilakukannya tindakan intubasi
endotrakhea adalah untuk membersihkan saluran trakheobronchial, mempertahankan
jalan nafas agar tetap paten, mencegah aspirasi, serta mempermudah pemberian
ventilasi dan oksigenasi bagi pasien operasi. Pada dasarnya, tujuan intubasi endotrakheal
(Anonim, 1986) :
a.
Mempermudah pemberian
anestesia.
b.
Mempertahankan jalan nafas agar
tetap bebas serta mempertahankan kelancaran pernafasan.
c.
Mencegah kemungkinan terjadinya
aspirasi isi lambung (pada keadaan tidak sadar, lambung penuh dan tidak ada
refleks batuk).
d.
Mempermudah pengisapan sekret
trakheobronchial.
e.
Pemakaian ventilasi mekanis
yang lama.
f.
Mengatasi obstruksi laring
akut.
g.
Untuk menegakkan patensi jalan
nafas
3. Indikasi
a)
Indikasi bagi pelaksanaan
intubasi endotrakheal menurut Gisele tahun 2002 antara lain :
a.
Keadaan oksigenasi yang tidak
adekuat (karena menurunnya tekanan oksigen arteri dan lain-lain) yang tidak
dapat dikoreksi dengan pemberian suplai oksigen melalui masker nasal.
b.
Keadaan ventilasi yang tidak
adekuat karena meningkatnya tekanan karbondioksida di arteri.
c.
Kebutuhan untuk mengontrol dan
mengeluarkan sekret pulmonal atau sebagai bronchial toilet.
d.
Menyelenggarakan proteksi
terhadap pasien dengan keadaan yang gawat atau pasien dengan refleks akibat
sumbatan yang terjadi.
b)
Dalam sumber lain (Anonim,
1986) disebutkan indikasi intubasi endotrakheal antara lain :
a.
Menjaga jalan nafas yang bebas
dalam keadaan-keadaan yang sulit.
b.
Operasi-operasi di daerah
kepala, leher, mulut, hidung dan tenggorokan, karena pada kasus-kasus demikian
sangatlah sukar untuk menggunakan face mask tanpa mengganggu pekerjaan ahli
bedah.
c.
Pada banyak operasi abdominal,
untuk menjamin pernafasan yang tenang dan tidak ada ketegangan.
d.
Operasi intra torachal, agar
jalan nafas selalu paten, suction dilakukan dengan mudah, memudahkan
respiration control dan mempermudah pengontrolan tekanan intra pulmonal.
e.
Untuk mencegah kontaminasi
trachea, misalnya pada obstruksi intestinal.
f.
Pada pasien yang mudah timbul
laringospasme.
g.
Tracheostomni.
h.
Pada pasien dengan fiksasi
vocal chords.
i.
Bila oral tube menghalangi
pekerjaan dokter bedah, misalnya tonsilektomi, pencabutan gigi, operasi pada
lidah
j.
Pemakaian laringoskop sulit karena
keadaan anatomi pasien.
k.
Bila direct vision pada
intubasi gagal.
l.
Pasien-pasien yang tidak sadar
untuk memperbaiki jalan nafas
m.
Selain intubasi endotrakheal
diindikasikan pada kasus-kasus di ruang bedah, ada beberapa indikasi intubasi
endotrakheal pada beberapa kasus nonsurgical, antara lain:
1)
Asfiksia neonatorum yang berat.
2)
Untuk melakukn resusitasi pada
pasien yang tersumbat pernafasannya, depresi atau abcent dan sering menimbulkan
aspirasi.
3)
Obstruksi laryngeal berat
karena eksudat inflamatoir.
4)
Pasien dengan atelektasis dan
tanda eksudasi dalam paru-paru.
5)
Pada pasien-pasien yang
diperkirakan tidak sadar untuk waktu yang lebih lama dari 24 jam seharusnya
diintubasi.
6)
Pada post operative respiratory
insufficiency.
4. Kontra
indikasi
Tidak terdapat indikasi yang absolute, namun
demikian edema jalan nafas bagian atas yang buruk atau fraktur dari wajah dan
leher dapat memungkinkan dilakukannya intubasi.
Tetapi Menurut
Gisele, 2002 ada beberapa kontra indikasi bagi dilakukannya intubasi
endotrakheal antara lain :
a.
Beberapa
keadaan trauma jalan nafas atau obstruksi yang tidak memungkinkan untuk
dilakukannya intubasi. Tindakan yang harus dilakukan adalah cricothyrotomy pada
beberapa kasus.
b.
Trauma
servikal yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang vertebra servical, sehingga
sangat sulit untuk dilakukan intubasi.
5. Peralatan
a.
Endotrakeal (ET) Tube dalam
berbagai ukuran
b.
Stylet ( sejenis kawat yang
dimasukkan kedalam kateter atau kanul dan menjaga kanul tersebut agar tetap
kaku atau tegak.
c.
Laringoskop, bengkok dan
berujung lurus
d.
Forsep Macgill ( hanya untuk
intubasi nasotrakeal )
e.
Jelli anastesi
f.
Kasa busa 4 x 4
g.
Spuit 10 cc
h.
Jalan nafas nasofaringeal
i.
Resusitasi Bag dengan adapter
dan masker yang dihubungkan dengan tabung oksigen dan flow meter
j.
Peralatan penghisap lender
k.
Kanul penghisap dengan sarung
tangan
l.
Ujung penghisap tonsil Yankauer
m.
Plester 1 cm
n.
Ventilator atau set oksigen
o.
Restrain
p.
Mesin monitor jantung atau EKG
q.
Peralatan henti jantung
6. Prosedur
Tindakan
a.
Tindakan
1.
Ingatkan ahli terapi pernafasan, dan siapkan
alat vebtilator atau set oksigen seperti yang dianjurkan oleh dokter
2.
Jelaskan prosedur pada pasien,
jika mungkin. Pasang restrain jika diperlukan
3.
Yakinkan bahwa pasien mendapat
terapi intravena yang stabil
4.
Tempatkan peralatan henti
jantung disis tempat tidur
5.
Periksa untuk meyakinkan bahwa
peralatan penghisap ( suction ) dan ambu bag sudah tersedia dan berfungsi
dengan baik. Hubungkan ujung penghisap Yankauer pada sumbernya
6.
Jika pasien tidak dalam monitor
jantung, hubungkan pada monitor atau pada mesin EKG
7.
Pindahkan alas kepala dan
tempatkan pasien sedekat mungkin dengan bagian atas tempat tidur. Pasien harus
dalam posisi sniffing, leher dalam keadaan fleksi dengan kepala ekstensi. Hal
ini dapat dicapai dengan menempatkan 2-4 inci alas kepala di leher belakang
bagian bawah.
8.
Tanyakan pada dokter tipe pisau
operasi yang harus disiapkan dan ukuran dari ET tube yang akan digunakan
9.
Hubngkan mata pisau operasi
pada`laringoskop, dan periksa bola lampu untuk medapatkan penerangan yang cukup
10.
Siapkan ET tube, dan kembangkan
manset / balonnya untuk mengetahui adanya kebocoran dan pengembangan yang
simetris
11.
Basahi ujung distal dari ET
tube dengan jeli anstesi
12.
Masukkan stylet kedalam tube,
yakinkan untuk tidak menonjol keluar dari ET tube
13.
Persipakan untuk meberikan
obat-obatan intravena ( suksinilkholin atau diazepam )
14.
Pegang ET tube dengan bagian
probe dan stylet pada tempatnya, laringoskop dengan mata pisau terpasang, dan
jalan nafas orofaringeal kea rah dokter
15.
Observasi dan berikan dukungan pada
pasien. Pertahankan terapi intravena, dan awasi adanya distrimia
16.
Berikan tekanan pada krikoid
selama intubasi endotrakeal untuk melindungi regurgitasi isi lambung. Temukan
kartilago krikoid dengan menekan raba tepat dibawah kartilago tiroid ( Adam’s Apple
). Bagian inferior yang menonjol kearah kartilaago adalah krikoid kartilago.
Berikan tekanan pada bagian anterolateral dari kartilago tepat sebelah lateral
dari garis tengah, gunakan ibu jari dan jari telunjuk. Pertahankan tekanan
sampai manset endotrakeal dikembangkan
17.
Setelah ET tube pada tempatnya,
kembangkan manset dengan isi yang minimal sebagai berikut :
a)
Selama inspirasi ( bag resusitasi manual atau ventilator ),
masukkan dengan perlahan udara kedalam garis manset. Tahan manset yang sudah
dikembangkan selama siklus ekspirasi
b)
Ulangi dengan perlahan
pengembangan manset selama siklus inspirasi tambahan
c)
Akhiri pemgembangan manset bila
kebocoran sudah terhenti
18.
Lakukan penghisapan dan ventilasi
19.
Untuk memeriksa posisi ET tube,
ventilasi dengan bag dan lakukan auskultasi bunyi nafas. Observasi penyimpangan
bilateral dada.
20.
Fiksasi ET tube pada tempatnya
dengan langkah sebagai berikut :
a)
Bagi pasien dengan intubasi
oral yang bergigi lengmanset, masukkan jalan nafas oral-fariengeal atau batasan
blok antar gigi. ( jika jalan nafas orofaringeal yang digunakan, ini harus
dipendekkan sehingga tidak masuk kedalam faring posterior )
b)
Bagi 2 lembar plester, sebuah
dengan panjang hampir 20-24 cm dan yang lain sekitar 14-16 cm ( cukup untuk
mengelilingi kepala pasien dan melingkari sekitar ET tube beberapa waktu )
c)
Letakkan plester dengan panjang
20-24 cm pada daerah yang rata, tegakkan sisinya ke atas, dan balikkan kea rah
plester dengan panjang 14-16 cm
d)
Oleskan kapur barus pada daerah
sekitar mulut
e)
Tempatkan plester disamping
leher pasien
f)
Letakkan satu ujung plester
menyilang diatas bibir, kemudian ujungnya mengitari ET tube pada titik kearah
mulut
g)
Letakkan ujung Yng lain dibawah
bibir bawah menyilang dagu, kemudian ujungnya mengitari ET tube pada titik tube
masuk ke mulut
h)
Lakukan auskultasi dada
bilateral
b.
Tindak Lanjut
1. Pastikan bahwa ET tube telah terfiksasi dengan baik dan pasien
mendapat ventilasi yang adekuat
2. Kaji sumber oksigen atau ventilator
3. Instruksikan untuk melakukan rontgen dada portable untuk memeriksa
letak ET tube
4. Yakinkan dan beri rasa nyaman pasien
c.
Dokumentasi
1.
Ukuran dari ET tube dan
perputaran dari insersi
2.
Hitung udara yang dibutuhkan
untuk mencegah kelebihan jumlah udara
3.
Toleransi pasien terhadap
prosedur
5. Komplikasi
a.
Memar, laserasi, dan abrasi
b.
Perdarahan hidung ( dengan
intubasi nasotrakeal )
c.
Obstruksi jalan`nafas (
herniasi manset, tube kaku )
d.
Sinusitis ( dengan nasotrakeal
tube )
e.
Rupture trakea
f.
Fistula trakeoesofageal
g.
Muntah dengan aspirasi, gigi
copot, atau rusak
h.
Distrimia jantung
3. KRIKOTOROIDOTOMI (
LARINGOTOMI DAN TRAKEOSTOMI )
1. Tujuan
Jika pernafasan pasien tersumbat dan tidak
dapat dihilangkan dengan metode yang sederhana atau intubasi, untuk
penatalaksanaan bedah jalan nafas darurat dengan aman dan cepat maka kadang
perlu membuka saluran nafas dibawah tempat obstruksi. Anda dapat mencapainya
melalui membrane krikotiroid, atau trakeanya.
Sebagai suatu metode darurat yang bermanfaat. Metode ini
akan menghilangkan obstruksi jalan nafas pasien seketika, mengurangi dead space
sebesar 100 ml dan hampir mengandalkan ventilasi alveolar, memberikan suatu
muaradi mana anda dapat melakukan pengisapan sekresi, meberikan jalan nafas
yang dapat dilanjutkan untuk jangka waktu tak terbatas.
2. Indikasi
a.
Kedaruratan medis yang menutupi
jalan nafas
·
Epiglolitis
·
Abses peritonsilar akut
·
Komplikasi pasca bedah
·
Trauma fasial
b.
Kemungkinan adanya cidera leher
yang tidak stabil ketika intubasi nasotrakeal tidak dapat dilakukan dengan
mudah
3. Kontra
indikasi
a.
Tidak dianjurkan pada pasien
pediatric dibawah 12 tahun. Karena 40-50 % kasus pneumotoraks berkembang
setelah dilakukan prosedur bedah jalan nafas
b.
Cedera pada trakea bila daerah
yang sakit tidak mudah untuk dikenali
4. Peralatan
a.
Betadine
b.
Kasa penyerap 4x4
c.
Kemasan kasa
d.
Jarum kateter No. 12 dan No. 14
e.
Peralatan Jetinsuflasi :
·
Konektor berbentuk Y dan tabung
oksigen
·
Sumber oksigen di dinding atau
tabing oksigen dengan flow meter
f.
Spuit 5 atau 10 cc
g.
Hemostats
h.
Tube trakeostomi No. 4 dan No.
5
i.
Endotrakeal Tube ( ET ) 3,0 mm
j.
Lidokain ( tanpa epinefrin ) 10
ml
k.
Perban
l.
Retractor, hok trakeal, spreder
trakea ( peregang )
m.
Masker, sarung tangan, gaun
n.
Elektrokauter
o.
Sumber cahaya
5. Prosedur
tindakan
a.
Needle Krikotiroidotomi
1.
Kaji jalan nafas pasien,
pernafasan, dan sirkulasi ( ABC ), dan pertahankan untuk melindungi serta
menberikan jalan nafas yang adekuat
2.
Ingatkan dokter terhadap
kemungkinan adanya bahaya jalan nafas
3.
Kaji pernafasan secara adekuat,
benda asing dalam rongga mulut
4.
Lakukan analisa gas darah
5.
Pasang peralatan, stop kontak
pada elektrokauter
6.
Berikan sedative jika
diperlukan
7.
Baringkan pasien dalam posisi
dengan leher sejajar
8.
Bantu dokter dalam menyiapkan
daerah leher
9.
Arahkan sumber cahaya pada
daerah leher
10.
Bantu dokter menggunakan sarung
tangan, gaun, masker
11.
Bantu dokter dalam membatasi
daerah steril
12.
Buka jarum kateter arahkan pada
daerah steril
13.
Buka endotrakeal tube
14.
Hubungkan Y konektor ke tabung
oksigen dengan flow meter menunjukkan angka 15 L/menit ( 50 psi )
15.
Bantu dokter dalam menusukkan
jarum 45º ke dalam bagian tengah bawah dari membrane krikotiroid
16.
Observasi terhadap adanya
aspirasi udara
17.
Bantu dalam mengontrol
perdarahan bila terlihat
18.
Kaji ekspansi paru dengan cara
auskultasi
19.
Amankan peralatan pada leher
b.
Bedah Krikotiroidotomi
1.
Kaji jalan nafas pasien,
pernafasan, dan sirkulasi ( ABC ), dan pertahankan untuk melindungi serta
menberikan jalan nafas yang adekuat
2.
Ingatkan dokter terhadap
kemungkinan adanya bahaya jalan nafas
3.
Kaji pernafasan secara adekuat,
benda asing dalam rongga mulut
4.
Lakukan analisa gas darah
5.
Pasang peralatan, stop kontak
pada elektrokauter
6.
Berikan sedative jika
diperlukan
7.
Baringkan pasien dalam posisi
dengan leher sejajar
8.
Bantu dokter dalam menyiapkan
daerah leher
9.
Arahkan sumber cahaya pada
daerah leher
10.
Bantu dokter menggunakan sarung
tangan, gaun, masker
11.
Bantu dokter dalam membatasi
daerah steril
12.
Jika pasien sadar, bantu dokter
dalam melakukan anastesi local
13.
Buka ET atau Tube trakeostomi
seperti yang dimaksud, arahkan pada daerah steril
14.
Bantu dalam menyiapkan
ventilator, atau persediaan oksigen dengan adaptor
15.
Bantu dokter mengarahkan cahaya
pada leher, pertahankan leher dalam posisi netral, pastikan spuit siap untuk
mengembangkan manset trakeostomi
16.
Bantu dalam mengatasi
perdarahan jika terlihat
17.
Observasi ekspansi dada setelah
manset dikembangkan
18.
Lakukan auskultasi dada secara
bilateral untuk mengetahui ventilasi yang adekuat
19.
Bantu dokter dalam melakukan
fiksasi tube
c.
Tindak lanjut
1.
Bantu ahli terapi pernafasan
dalam memastikan ventilasi yang adekuat
2.
Kaji kembali ABC pasien ( jalan
nafas, pernafasan, sirkulasi )
3.
Lanjutkan pemeriksaan ulang
analisa gas darah
4.
Lanjutkan pengawasan dan
pencatatan tanda-tanda vital serta tingkat kesadaran pasien
5.
Bantu dalam melanjutkan
intervensi darurat
6.
Ingatkan kamar operasi bila
pasien memerlukan tindakan bedah lebih lanjut
d.
Dokumentasi
1.
Kenali pengkajian pada pasien
2.
Prosedur yang digunakan dan
hasilnya
3.
Kelanjutan dari pengkajian
pernafasan
4. Komplikasi
a.
Stenosis trakea
b.
Perdarahan yang mungkin sulit
terkontrol
c.
Asfiksia
d.
Aspirasi
e.
Selulitis
f.
Perforsasi esophagus
g.
Hematom yang mengeluarkan darah
h.
Perforasi dinding trakea
posterior
i.
Perforasi tiroid
j.
Ventilasi yang tidak adekuat
yanh mengarah pada hipoksia atau kematian
k.
Stenosis laryngeal
l.
Laserasi pada esophagus
m.
Kelumpuhan pita suara
n.
Serak
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Obstruksi jalan
napas atas adalah gangguan yang menimbulkan penyumbatan pada saluran pernapasan
bagian atas. Beberapa gangguan yang merupakan obstruksi pada jalan napas atas,
diantaranya Obstruksi Nasal, Obstruksi Laring.
Obstruksi jalan nafas tersebut dapat disebabkan oleh berbagai faktor baik dari
faktor penyakit, cedera dan sebagainya.
Perawatan yang dapat dilakukan pada
pasien dengan obstruksi jalan nafas yaitu
segera setelah mengetahui bahwa pasien mengalami obstruksi jalan nafas
untuk dilakukan tindakan yakni dengan mengekstensikan leher pasien dan tarik
rahang kea rah depan. Keluarkan sisa muntahan dan benda asing dari faring
dengan jari tangan. Lalu masukkan oropharingeal airway.
Terdapat
banyak keadaan yang akan menyebabkan kematian dalam waktu singkat, tetapi
semuanya berakhir pada satu akhir yakni kegagalan oksigenasi sel, terutama otak
dan jantung. Usaha yang dilakukan untu mempertahankan kehidupan pada saat
penderita mengalami keadan yang mengancam nyawa yang dikenal sebagai “Bantuan
Hidup” (Life Support). Bila usaha Bantuan Hidup ini tanpa memakai cairan
intra-vena, obat ataupun kejutan listrik maka
dikenal sebagai Bantuan Hidup Dasar (Basic Life Support).
Yang harus dilakukan pada BHD adalah :
d.
Airway (jalan nafas)
e.
Breathing (pernafasan)
f.
Circulation (jantung dan
pembuluh darah)
Tindakan-tindakan
darurat yang umum dilakukan pada penderita dengan gangguan obstruksi jalan
nafas : abdominal thrust, chest thrust,
back blow, intubasi endotrakeal, krikotoroidotomi. Tindakan-tindakan
tersebut merupakan tindakan yang dapat dilakukan tanpa alat smpai menggunakan
alat dan melalui proses pembedahan.
B. Saran
Suatu peristiwa yang mengancam jiwa
tidaklah dapat diketahui dan dapat terjadi secara tiba-tiba. Hal ini dapat
terjadi diman saja, kapan saja, dan dapat tertimpa siapa saja. Jadi keselamatan
diri sangat perlu diterapkan pada diri kita. Seperti halnya pada perawat atau
tenaga medis lainnya, bila menemukan suatu keadaan drurat terjadi pada pasien,
hendknya tenaga kesehatan terlebih dahulu memperhatikan pelindung diri. Umtuk
menolong pasien dengan cedera yang dalam keadaan darurat maka ada beberapa hal
yang harus diperhatikan yakni Basic Life Support asien yakni berupa tindakan
ABC yakni Airway, Breathing dan Circulation. Namun dalam setiap mealkukan
tindakan hendaknya tenaga medis terlebih dahulu mengamankan kondisi lingkungan
serta meminta bantuan dengan orang lain baru bertindak melakukan pertolomgam
pada pasien, setelah itu lakukan rujukan ke tepmpat pelayanan kesehatan
terdekat.
DAFTAR PUSTAKA
·
Greenberg,
Michael I, dkk. 2008. Teks-Atlas Kedokteran Kedaruratan jilid 1.
Jakarta :
Erlangga
·
King,
Maurice, dkk. 2001. Bedah Primer : Tarauma. Jakarta : EGC
·
Mancini,
E Mary. 1994. Pedoman Praktis Prosedur Keperawatan Darurat. Jakarta : EGC
·
Ilhamsyah.
Kamis, 10 Juli 2008. Obstruksi Jalan Nafas. www. Health
Reference-ilham.blogspot.com. Diakses pada 2 Maret 2009, 11.47 WITE.
·
Harry Wahyudhy Utama, S.Ked. 11 Juli 2007. Trakeostomi (Tracheostomy).
www.blogspot.com Diakses pada 2 Maret 2009, 11.45 WITE.
·
Ilhamsyah. Senin, 7 Juli 2008. Intubasi Endotrakeal. www.
Health Reference-ilham.blogspot.com Diakses pada 2 Maret 2009, 11.55 WITE.
·
Rohman Azzam. Jumat, 15 Februari 2008, 03.13 pm. Mengatasi
Sumbatan Jalan Napas Oleh Benda Asing. http//:www.kegawatdaruratan.blogspot.com. Diakses
pada 24 Februari 2009, 10.00 WITE
No comments:
Post a Comment