Monday, August 24, 2009

Askep Klien dengan CKS

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Konsep Dasar

1. Pengertian

Cedera kepala adalah trauma yang meliputi trauma kulit kepala, tengkorak, dan otak, dan cedera kepala paling sering dan penyakit neurologik yang serius diantara penyakit neurologik, dan merupakan proporsi epidemik sebagai hasil kecelakaan jalan raya. (Brunner & Suddarth, 2002 : hal. 2210)

Cedera Kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas. (Arief Mansjoer, 2000 : hal. 3)

Cedera kepala adalah gangguan traumatik pada daerah kepala yang menggangu fungsi otak dengan atau menyebabkan terputusnya kontinuitas jaringan kepala yang biasanya disebabkan oleh trauma keras (Sylvia A. Price, 2006 : hal. 1173).

Dari pengertian-pengertian diatas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa cedera kepala adalah traumatik pada daerah kepala yang dapat mengganggu fungsi otak yang biasanya disebabkan oleh trauma keras sebagai hasil kecelakaan jalan raya.

1. Anatomi Fisiologi Otak

Otak dilindungi dari cedera oleh rambut, kulit, dan tulang yang membungkusnya. Tanpa perlindungan ini, otak yang lembut akan mudah sekali terkena cedera dan mengalami kerusakan. Selain itu, begitu rusak, neuron tidak dapat diperbaiki lagi. Cedera kepala dapat mengakibatkan malapetaka besar bagi seseorang. Sebagian masalah merupakan akibat langsung dari cedera dan banyak lainnya terjadi sekunder akibat cedera.

Meninges melindungi otak dan memberikan perlindungan tambahan. Ketiga lapisan meninges adalah dura meter, araknoid, dan pia meter. Masing-masing mempunyai fungsi tersendiri dan strukturnya berbeda dari struktur lain. Dura meter adalah membran luar yang liat, semitranslusen, dan tidak elastis. Fungsinya untuk (1) melindungi otak, (2) menutupi sinus-sinus vena (yang terdiri atas dura meter dan lapisan endotelial saja tanpa jaringan vascular), dan (3) membentuk periosteum tabula interna. Dura meter erat dengan permukaan bagian dalam tengkorak. Bila dura robek dan tidak diperbaiki dengan sempurna dan dibuat kedap udara, akan menimbulkan berbagai masalah, fungsi terpenting dura kemungkinan adalah sebagai pelindung. Di dekat dura (tetapi tidak melekat pada dura) terdapat membrane fibrosa halus dan elastis yang dikenal sebagai araknoid. Membran ini tidak melekat pada dura meter. Perdarahan antara dura dan araknoid (ruang subdural) dapat menyebar dengan bebas, dan hanya terbatas oleh sawar falks serebri dan tentorium. Vena-vena otak yang melewati ruangan ini hanya mempunyai sedikit jaringan penyokong dan oleh karena itu mudah sekali terkena cedera dan robek pada trauma. Diantara araknoid dan pia meter terdapat ruang subaraknoid. Ruangan ini melebar dan mendalam pada tempat tertentu, dan memungkinkan sirkulasi cairan serebrospinal (CSS). Pada sinus sagitalis superior dan tranversal, araknoid membentuk tonjolan villus yang bertindak sebagai lintasan untuk mengosongkan cairan serebrospinal kedalam sistem vena. Sedangkan lapisan terakhir atau pia meter adalah membrane halus yang memiliki sangat banyak pembuluh darah halus dan merupakan satu-satunya lapisan meningeal yang masuk kedalam sulkus dan membungkus semua girus; kedua lapisan yang lain hanya menjembatani sulkus.

2. Klasifikasi Cedera Kepala

Adapun pembagian / pengklasifikasian cedera kepala (Arief Mansjoer, 2000 : hal 3) adalah :

a. Berdasarkan mekanisme cedera

Berdasarkan adanya penetrasi durameter, cedera kepala dibagi menjadi :

1) Trauma tumpul : kecepatan tinggi (tabrakan otomobil), dan kecepaan rendah (terjatuh, dipukul).

2) Trauma tembus : luka tembus peluru dan cedera tembus lainnya)

b. Berdasarkan Keparahan cedera

1) Cedera Kepala Ringan (CKR) : GCS 13-15

2) Cedera Kepala Sedang (CKS) : GCS 9-12

3) Cedera Kepala Berat (CKB) : GCS 3-8

c. Berdasarkan Morfologi

1) Fraktur tengkorak :

a) Kranium : linear/stelatum: depresi/non depresi; terbuka/tertutup

b) Basis : dengan/tanpa kebocoran cairan serebrospinal dengan/tanpa kelumpuhan nervus VII (Nervus Facialis)

2) Lesi Intrakranial :

a) Fokal : epidural, subdural, intraserebral

b) Difus : konkusi ringan, konkusi klasik, cedera aksonall difus

Sedangkan menurut Brunner & Suddarth (2002), pengklasifikasian cedera kepala berdasarkan cedera spesifik pada otak kepala dibagi :

a. Komosio

Komosio serebral setelah cedera kepala adalah hilangnya fungsi neurologik sementara tanpa kerusakan struktur. Komosio umumnya meliputi sebuah periode tidak sadarkan diri dalam waktu yang berakhir selama beberapa menit. Getaran otak sedikit saja hanya akan menimbulkan pusing atau berkunang-kunang, atau dapat juga kehilangan kesadaran komplet sewaktu.

b. Kontusio

Kontusio serebral merupakan cedera kepala berat, dimana otak mengalami memar, dengan kemungkinan adanya daerah hemoragi. Pasien berada pada periode tidak sadarkan diri. Gejala akan muncul dan lebih khas. Pasien terbaring kehilangan gerakan, denyut nadi lemah, pernafasan dangkal, kulit dingin dan pucat. Sering terjadi defekasi dan berkemih tanpa disadari. Pasien dapat diusahakan bangun tetapi segera masuk dalam keadaan tidak sadar.

c. Hematome intracranial

1) Hematom Epidural

Setelah cedera kepala, darah berkumpul didalam ruang epidural (ekstradural) diantara tengkorak dan dura. Keadaan ini sering diakibatkan dari fraktur tulang tengkorak yang menyebabkan arteri meningeal tengah putus atau rusak, dimana arteri ini berada di antara dura dan tengkorak daerah inferior menuju bagian tipis tulang temporal, hemoragi karena arteri ini menyebabkan penekanan pada otak. Tanda dan gejala klasik terdiri dari penurunan kesadaran ringan pada waktu terjadi benturan diikuti oleh periode lucid (pikiran jernih) dari beberapa menit sampai beberapa jam. Pasien dengan hematoma epidural membentuk suatu kelompok yang dapat dikategorikan sebagai “talk” and “die”.

2) Hematom Subdural

Hematom subdural adalah pengumpulan darah di antara dura dan dasar otak, suatu ruang ini pada keadaan normal diisi oleh cairan. Paling sering disebabkan oleh trauma, tetapi juga terjadi kecenderungan perdarahan yang serius dan aneurisma. Hemoragi subdural lebih sering terjadi pada vena dan merupakan akibat terputusnya pembuluh darah kecil yang menjembatani ruang subdural

a)Hematoma Subdural Akut

Trauma yang merobek duramater dan arachnoid sehingga darah dan CSS masuk ke dalam ruang subdural. Gangguan neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak dan herniasi batang otak. Keadaan ini menimbulkan berhentinya pernafasan dan hilangnya kontrol denyut nadi dan tekanan darah. Cedera ini menunjukkan gejala dalam 24 – 48 jam setelah trauma. Diagnosis dibuat dengan arteriogram karotis dan echoensefalogram / CT Scan. Pengobatan terutama tindakan bedah.

b) Hematoma Subdural Subakut

Perdarahan ini menyebabkan defisit neurologik yang bermakna dalam waktu lebih dari 48 jam. Peningkatan tekanan intra kranial disebabkan oleh akumulasi darah akan menimbulkan herniasi ulkus / sentral dan melengkapi tanda – tanda neurologik dari kompresi batang otak. Pengobatan ini dengan pengangkatan bekuan darah.

c) Hematoma subdural Kronik

Timbulnya gejala ini pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan, dan tahun setelah cedera pertama. Perluasan ini massa terjadi pada kebocoran kapiler lambat. Gejala umum meliputi sakit kepala, letargi, kacau mental, kejang, dan kadang -kadang disfasia. Diagnosis dibuat dengan arteriografi. Pada klien dengan hematoma kecil tanpa tanda–tanda neurologik, maka tindakan pengobatan yang terbaik adalah melakukan pemantauan ketat. Sedangkan klien dengan gangguan neurologik yang progresif dan gejala kelemahan, cara pengobatan yang terbaik adalah pembedahan.

3) Hemoragi intraserebral

Hemoragi intraserebral adalah perdarahan ke dalam substansi otak. Hemoragi biasanya terjadi pada cedera kepala dimana tekanan mendesak ke kepala sampai daerah kecil. Hemoragi ini di dalam otak mungkin juga diakibatkan oleh hipertensi sistemik, yang menyebabkan degenerasi dan ruptur pembuluh darah; rupture kantung aneurisma; anomali vaskuler; tumor intracranial; penyebab sistemik, termasuk gangguan perdarahan seperti leukemia, hemofilia, anemia aplastik, dan trombositopenia.

3. Etiologi

Etiologi / penyebab dan terjadinya Cedera Kepala adalah kecelakaan lalu lintas, kecelakaan di rumah, kecelakaan kerja, peluru yang menembus tulang tengkorak, kejatuhan atau jatuh dari pohon, akibat kekerasan.

4. Patofisiologi

Derajat kerusakan yang terjadi pada penderita cedera kepala bergantung pada kekuatan yang menimpa, makin besar kekuatan, makin parah kerusakan. Kekuatan tersebut terbagi menjadi 2, yaitu pertama cedera setempat yang disebabkan oleh benda tajam berkecepatan rendah yang dapat merusak fungsi neurologik pada tempat tertentu karena benda atau fragmen tulang menembus dura. Kedua, cedera menyeluruh, yang menyebabkan kerusakan terjadi waktu energi atau kekuatan diteruskan ke otak.

Karena neurofisiologis pernafasan sangant kompleks, kerusakan neurologist dapat menimbulkan masalah pada beberapa tingkat. Beberapa lokasi pada hemisfer serebral mengatur control volunter terhadap otot yang digunakan pada pernafasan, pada sinkronisasi dan koordinasi serebelum pada upaya otot. Serebrum juga mempunyai beberapa kontrol terhadap frekuensi dan irama pernafasan. Nucleus pada pons dan area otak tengah dari batang otak mengatur otomatisasi pernafasan. Sel-sel pada area ini bertanggunga jawab pada perubahan kecil dari pH dan kandungan oksigen sekitar darah dan jaringan. Pusat ini dapat dicederai oleh peningkatan TIK dan hipoksia serta oleh trauma langsung. Trauma serebral yang mengubah tingkat kesadaran biasanya menimbulkan hipoventilasi alveolar karena nafas dangkal. Faktor ini akhirnya menimbulkan gagal nafas, yang mengakibatkan laju mortalitas tinggi pasien dengan cedera kepala, sedangkan pola pernafasan berbeda dapat diidentifikasi bila terdapat disfungsi intracranial.

Akibat utama dari cedera otak dapat mempengaruhi gerakan tubuh. Hemisfer atau hemiplegia dapat terjadi sebagai akibat dari kerusakan pada area motorik otak. Selain itu, pasien dapat mempunyai control volunter terhadap gerakan dalam menghadapi kesulitan perawatan diri dn kehidupan sehari-hari yang berhubungan dengan postur, spastisitas, atau kontraktur.

Gangguan area motorik dan sensorik dari hemisfer serebral akan merusak kemampuan untuk mendeteksi adanya makanan pada sisi mulut yang dipengaruhi dan untuk memanipulasinya dengan gerakan pipi dan lidah. Selain itu, refleks menelan dari batang otak mungkin hiperaktif atau menurun sampai hilang sama sekali.

Pasien dengan trauma serebral disertai gangguan kemampuan komunikasi bukan terjadi secara tersendiri. Disfungsi ini paling sering menyebabkan kecacatan pada seseorang yang mengalami cedera kepala. Pasien yang telah mengalami trauma pada area hemisfer serebral dominan

Skema Patofisiologi


(Hudak & Gallo, 2000)

1. Tanda dan Gejala

Gejala-gejala yang muncul pada cedera lokal tergantung pada jumlah dan distribusi cedera otak. Nyeri yang menetap atau setempat, bisanya menunjukkan adanya fraktur.

a. Fraktur Kubah Kranial menyebabkan bengkak pada sekitar fraktur, dan atas alasan ini diagnosis yang akurat tidak dapat ditetapkan tanpa pemeriksaan dengan sinar-x.

b. Fraktur dasar tengkorak :

Cenderung melintas sinus paranasal pada tulang frontal atau lokasi tengah telinga di tulang temporal, dimana dapat menimbulkan tnda seperti :

1) Hemoragi dari hidung, faring, atau telinga dan darah terlihat di bawah konjungtiva

2) Ekimosis atau memar, mungkin terlihat diatas mastoid (battle sign)

c. Laserasi atau kontusio otak ditunjukkan oleh cairan spinal berdarah.

d. Penurunan kesadaran

e. Nyeri kepala

f. Mual, muntah

g. Brill Hematom

h. Pingsan

2. Pemeriksaan Diagnostik

a. CT Scan Kepala

Mengidentifikasi adanya SOL, hemoragik, menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak. Pemeriksaan berulang mungkin diperlukan karena pada iskemik/ infark mungkin tidak terdeteksi dalam 24-72 jam pascatrauma.

b. MRI

Sama dengan skan CT dengan/ tanpa menggunakan kontras.

c. Angiografi

Menunjukkan kelainan sirkulasi serebral seperti pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan, dan trauma.

d. EEG

Untuk memperlihatkan keberdaan atau berkembangnya gelombang patologis

e. Sinar X

Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur), pergeseran struktur garis tengah (karena perdarahan, edema), adanya fragmrn tulang

f. BAER (Brain Auditory Evoked Respons)

Menentukan fungsi korteks dan batang otak

g. PET (Positron Emission Tomography)

Menunjukkan perubahan aktivitas metabolisme pada otak

h. Pungsi Lumbal, CSS

Dapat menduga kemungkinan adanya perdarahan subaraknoid

i. GDA (Gas Darah Arteri)

Mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi yang akan dapat meningkatkan TIK

j. Kimia / elektrolit darah

Mengetahui ketidakseimbangan yang berperan dalam meningkatkan TIK / perubahan mental

k. Pemeriksaan Toksikologi

Mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab terhadap penurunan kesadaran

l. Kadar antikonvulsan darah

Dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi yang cukup efektif untuk mengatasi kejang

3. Penatalaksanaan

a. Pedoman Resusitasi dan Penilaian awal

1) Menilai jalan nafas

Bersihkan jalan nafas dari debris dan muntahan, lepaskan gigi palsu, pertahankan tulang servikal segaris dengan badan dengan memasang kolar servikal, pasang gudel bila dapat ditolerir. Jika cedera orofasial mengganggu jalan nafas, maka pasien harus diintubasi.

2) Menilai Pernafasan

Tentukan apakah pasien bernafas spontas atau tidak. Jika tidak, beri oksigen melalui masker oksigen. Jika pasien bernafas spontan, selidiki dan atasi cedera dada berat seperti penumotorak, pneumotoraks tensif.

3) Menilai sirkulasi

Otak yang rusak tidak mentolerir hipotensi. Hentikan semua perdarahan dengan menekan arterinya. Perhatikan secara khusus adanya cedera intra abdomen atau dada. Ukur dan catat frekuensi denyut jantung dan tekanan darah, pasang alat pemantau atau EKG. Pasang jalur intravena yang besar, ambil darah vena untuk pemeriksaan darah perifer lengkap ureum, elektrolit, glukosa dan AGD, serta berikan cairan koloid.

4) Obati Kejang

Kejang konvulsif dapat terjadi setelah cedera kepala dan harus diobati. Mula-mula berikan diazepam 10 mg intravena perlahan-lahan dan dapat diulangi sampai 3 kali bila masih kejang. Bila tidak berhasil dapat diberikan penitoin 15 mg/kg BB diberikan intravena perlahan-lahan dengan kecepatan tidak melebihi 50 mg/menit.

5) Menilai tingkat keparahan

a) Cedera kepala ringan (kelompok resiko rendah)

GCS 13-15 (sadar penuh, atentif, dan orientif); tidak ada kehilangan kesadaran; tidak ada intoksikasi alcohol atau obat terlarang; pasien tidak mengeluh nyeri kepala dan pusing; pasien tidak menderita abrasi, laserasi, atau hematoma kulit kepala.

b) Cedara kepala sedang (kelompok resiko sedang)

GCS 9-12 (konfusi, letargi, stupor); konkusi amnesia pasca trauma; muntah; tanda kemungkinan fraktur kranium (tanda battle, mata rabun, hemotimpanum, otorea, atau rinorea cairan serebrospinal).

c) Cedera kepala berat (kelompok resiko berat)

GCS 3-8 (koma), penurunan derajat kesadaran secara progresif; tanda neurologist fokal; cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi kranium.

b. Pedoman penatalaksanaan

1) Pada semua pasien dengan cedera kepala dan / atau leher, lakukan foto tulang belakang servikal (proyeksi antero – posteriol, lateral, dan adontoid), kolar servikal baru dilepas setelah dipastikan bahwa seluruh tulang servikal C1-C7 normal.

2) Pada semua pasien dengan cedera kepala sedang dan berat, lakukan prosedur berikut :

a) Pasang jalur intravena dengan larutan salin normal (NaCl 0,9%) atau larutan Ringer Laktat : cairan isotonis lebih efektif mengganti volume intravaskuler daripada cairan hipotonis, dan cairan ini tidak menanbah edema serebri.

b) Lakukan pemeriksaan : hematokrit, periksa darah perifer lengkap, trombosit, kimia darah, glukosa, ureum, dan kreatinin, masa protrombin atau masa tromboplastin parsial, skrining toksikologi dan kadar alcohol bila perlu.

c) Lakukan CT Scan dengan jendela tulang : foto rontgen kepala tidak diperlukan jika CT Scan dilakukan, karena CT scan ini lebih sensitif untuk mendeteksi fraktur. Pasien dengan cedera ringan , sedang atau berat, harus dievaluasi adanya :

(a). Hematoma Epidural,

(b). Darah dalam subarachnoid dan intraventrikal

(c). Kontusio dan perdarahan jaringan

(d). Obliterasi sisterna perimesensefalik

(e). Fraktur kranium, cairan dalam sinus dan pneumosefalus.

3) Pada pasien yang koma (skor GCS < 8) atau pasien dengan tanda-tanda herniasi, lakukan tindakan berikut ini :

a) Elevasi kepala 300

b) Hiperventilasi

c) Berikan manitol 20% 1 gram / kg intravena dalam 20-30 menit. Dosis ulangan dapat diberikan 4-6 jam kamudian yaitu sebesar ¼ dosis semula setiap 6 jam sampai maksimal 48 jam pertama

d) Pasang kateter foley

e) Konsul bedah saraf bila terdapat indikasi operasi (hematom epidural besar, hematom subdural, cedera kepala terbuka, dan fraktur impresi > 1 diploe)

4) Penatalaksanaan khusus

a) Cedera kepala ringan : Pasien dengan cedera kepala ringan ini umumnya dapat dipulangkan ke rumah tanpa perlu dilakukan pemeriksaan CT scan bila memenuhi kriteria berikut :

(1). Hasil pemeriksaan neurologist (terutama status mini mental dan gaya berjalan) dalam batas normal

(2). Foto servikal jelas normal

(3). Adanya orang yang bertanggung jawab untuk mengamati pasien selama 24 jam pertama, dengan instruksi untuk segera kembali ke bagian gawat darurat jika timbul gejala perburukan.

Sedangkan criteria perawatan di rumah sakit adalah :

(1). Adanya darah intrakrnial atau fraktur atau fraktur yang tampak pada CT Scan

(2). Konfusi, agitasi, atau kesadaran menurun

(3). Adanya tanda atau gejala neurologist fokal

(4). Intoksikasi obat atau alcohol

(5). Adanya penyakit medis komorbid yang nyata

(6). Tidak adanya orang yang dapat dipercaya untuk mengamati pasien di rumah

b) Cedera kepala sedang : pasien yang menderita konkusi otak (komosio otak), dengan skala koma Glasgow 15 (sadar penuh, orientasi baik dan mengikuti perintah) dan CT Scan normal, tidak perlu dirawat. Pasien ini dapat dipulangkan untuk observasi di rumah, meskipun terdapat nyeri kepala, mual, muntah, pusing, atau amnesia. Resiko timbulnya lesi intracranial lanjut yang bermakna pada pasien dengan cedera kepala sedang adalah minimal.

c) Cedera kepala berat : penatalaksanaan cedera kepala berat seyogyanya dilakukan di unit rawat intensif. Hal yang harus diperhatikan pada pasien dengan cedera kepala berat adalah :

(1).Penilaian ulang jalan nafas dan ventilasi

(2).Monitor tekanan darah : karena autoregulasi sering terganggu pada cedera kepala akut, maka tekanan arteri rata-rata harus dipertahankan untuk menghindari hipotensi (<70 mmHg) dan hipertensi (>130 mmHg). Hipertensi dapat menyebabkan iskemia otak sedangkan hipertensi dapat mengeksaserbasi serebri.

(3).Pemasangan alat monitor tekanan intracranial pada pasien dengan skor GCS <8, bila memungkinkan

(4).Penatalaksanaan cairan : hanya larutan isotonis (salin normal atau ringer laktat) yang diberikan kekpada pasien dengan cedera kepala karena air bebas tambahan dalam salin 0,45% atau dekstrose 5% harus diberikan sesegera mungkin.

(5).Nutrisi : cedera kepala berat menimbulkan respon hipermetabolik dan katabolic, dengan keperluan 50-100% lebih tinggi dari normal. Pemberian makanan enteral melalui pipa nasogatrik harus diberikan sesegera mungkin

(6).Temperatur badan : demam dapat mengakserbasi cedera otak.

(7).Anti kejang : fenitoin 15-20 mg/kgBB bolus intravena, kemudia 300 mg/hari intravena.

(8).Steroid : tidak terbukti mengubah hasil pengobatan pasien dengan cedera kepala dan dapat meningkatkan resiko infeksi, hiperglikemi dan komplikasi lain.

(9).Antibiotik : penggunaan antibiotic rutin untuk profilaksis pada pasien dengan cedera kepala terbuka masih controversial. Golongan penisilin dapat mengurangi resiko meningitis.

4. Komplikasi

Kemunduran pada kondisi pasien mungkin karena perluasan hematom intracranial, edema serebral progresif, dan herniasi otak. (Brunner & Suddarth, 2002 : hal. 2215)

a. Edema serebral dimana terjadi peningkatan tekanan intrakranial karena ketidaknmampuan tengkorak utuh untuk membesar meskipun peningkatan volume oleh pembengkakan otak diakibatkan dari trauma.

b. Herniasi otak adalah perubahan posisi ke bawah atau lateral otak melalui atau terhadap struktur kaku yang terjadi menimbulkan iskemia, infark, kerusakan otak ireversibel, dan kematian.

c. Defisit neurologik dn psikologik

d. Infeksi sistemik (pneumoni, infeksi saluran kemih, septicemia)

e. Infeksi bedah neuron (infeksi luka, osteomielitis, meningitis, ventikulitis, abses otak)

f. Osifikasi heterotopik (nyeri tulang pada sendi-sendi yang penunjang berat badan)

Menurut Arief Mansjoer (2000), komplikasi dari cedera kepala berat, yaitu:

a. Kebocoran cairan serebrospinal dapat disebabkan oleh rusaknya leptomeningen dan terjadi pada 2-6 % pasien dengan cedera kepala tertutup.

b. Fistel karotis kavernosus ditandai dengan trias gejala: eksolftalmus, kemosis, dan bruit orbita, dapat segera timbul atau beberapa hari setelah cedera.

c. Diabetes insipidus dapat disebabkan oleh kerusakan traumatik pada tangkai hipofisis, menyebabkan penghentian sekresi hormon antidiuretik.

d. Kejang pasca trauma dapat terjadi segera (dalam 24 jam), dini(minggu pertama) atau lanjut (setelah satu minggu).


No comments:

Post a Comment