Tuesday, July 23, 2019

ASKEP PADA ANAK DENGAN DOWN SYNDROM


BAB  I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Di Era Globalisasi ini masih banyak sekali penyakit yang diderita oleh anak namun belum diketahui oleh orang tua bahkan cenderung dikatakan masih sangat asing ditelinga, salah satu dari sekian banyak penyakit anak tersebut adalah “ Sindrom Down “.
Karena alasan tersebut diatas sehingga kelompok berusaha untuk membahas dan menyajikan makalah ini sebaik mungkin selain karena merupakan salah satu kewajiban dalam memenuhi mata kuliah Keperawatan Anak, kelompok berharap agar makalah dapat membantu para Tenaga Kesehatan terutama perawat agar bisa membantu pasien dalam mengenal dan mengerti cara merawat klien dengan Sindrom Down.

TUJUAN
@ Mendapatkan pengetahuan, pengalaman dan keterampilan terutama dalam bahasan yang disampaikan.
@ Memenuhi penugasan dalam mata kuliah Keperawatan Anak.
@ Dapat menerapkan dan mengaplikasikan teori yang telah didapatkan baik di lahan praktek dan di masyarakat.



BAB  II
LANDASAN TEORI

PENGERTIAN
Sindrom down merupakan kelainan kromosom tersering terjadi. Pertama kali dikemukakan pada tahun 1866 oleh Down.

ETIOLOGI
Penderita yang yang mempunyai kromosom tambahan pada kromosom ke 6 dapat merupakan salah satu dari ketiga keadaan berikut :
1.     Non Disjunction ( 94 % )
Sel telur yang akan dibuahi mempunyai 24 kromosom Y ini terdapat tambahan kromosom 21.  Hal ini mengakibatkan distribusi kromosom pada waktu pembelahan sel ( Miosis ) tidak merata.  Jenis kelainan ini pada umumnya terjadi pada wanita usia lanjut, yang mendekati akhir masa produksi.
Spermatozoa abnormal yang biasa dari pria, biasanya tidak dapat berkompetisi dengan spermatozoa normal.  Akan tetapi sel telur hanya satu saja yang dilepaskan setiap bulan dan abnormal tetap dapat dibuahi, oleh karena itu hanya umur wanita saja yang penting pada patogenesis kelainan.
2.    Mozaikisme ( 3 % )
Keadaan distribusi kromosom tidak merata pada waktu proses pembelahan sel terjadi sesudah pembuahan normal, karena sel mempunyai 46 kromosom ( normal ), yang lain mempunyai 47 kromosom ( Trisomi 21 ).  Ada juga sel yang memiliki 45 kromosom ( Monosomi 21 ), tetapi sel – selnya langsung mati.
3.    Translokasi ( 3 % )
Sel – sel pasien 46 kromosom.  Salah satunya adalah kombinasi antara kromosom 21 dengan kromosom lain.  Dari kelompok D dan G orang tua biasanya pembawa sifat translokasi, tetapi dalam keadaan seimbang mempunyai materi kromosom normal.  Sehingga klinisnya normal karena hasil akhir pembelahan sel selalu menghasilkan hasil distribusi kromosom tidak merata dan sel telur yang dibuahi memiliki satu kromosom tambahan.
Pembawa translokasi pada pasangan muda mempunyai resiko berulangnya penyakit.
Resiko kejadian translokasi.
Pembawa sifat 10 % lebih besar resiko berulang penyakit 1 % bila kedua orang tua bukan pembawa sifat.

GAMBARAN KLINIS
1.     Umumnya hipotoni, hiperfleksibilitas sendi, perawakan pendek, retardasi mental, tetapi hubungan sosialnya baik dan selalu gembira.
2.    Wajah bagian depan dan belakang kepala rata dan hidungnya kecil.
3.    Mata miring ke atas ( Mongoloid ) kearah fisura palpebra.  Epikontus medial berlipat, iris berbintik – bintik, terutama pada orang bermata biru ( bintik – bintik brusfield ), lensa agak keruh, cenderung terjadi blefaritis dan strabismus.
4.    Telinga kecil dan kadang – kadang terlalu menonjol.
5.    Mulut hipoplasia, gigi sering tidak rata, lidah sering kali menjulur.
6.    Leher pendek sehingga neonatus tengkuknya tampak menonjol.
7.    Tangan relatif lebar, tetapi jarinya pendek.  Hipoplasia ruas tengah jari kelingking klinadaktrin ( ujungnya melengkung ke dalam ).  Garis lekukan telapak tunggal ( Tekune simian ).
8.    Kaki; garis plantar dan jarak antara jari kaki pertama dan kedua melebar.
9.    Kulit marmorata.
10. Jantung terdapat kelainan kongenital pada 40 % penderitanya, terutama kelainan defek septum.
11.  Genetalia kriptorkismus, alat kelamin kecil dan terdapat infertilitas pada penderita laki – laki.
12. Gastrointestinal attesia duodeni, atresia esopagus.
13. Darah pada 1 % penderita terdapat leukemia limpoblastik.
14. Gangguan kognitif.
15. Lambatnya ketrampilan ekspresi dan resepsi bahasa.
16. Gagal melewati tahap perkembangan.
17. Kemungkinan lambatnya pertumbuhan.
18.  Kemungkinan tonus otot abnormal.
PATOFISIOLOGI
Kelainan kromosom biasanya terjadi atas 2 tipe sindrom karakteristik ;
1.     Kelainan dalam jumlah
Kesalahan jumlah kromosom terjadi karena kegagalan berpisah diawal pembelahan sel dari satu zigot.  Kegagalan ini mengakibatkan pembelahan sel menghasilkan satu sel anak yang mengandung satu kromosom ekstra dan stu sel anak lain yang jumlah kromosomnya kurang satu dari normal.
Suatu aneuploidi yang mengandung satu kromosom ekstra pada posisi tertentu ( Ada 3 bukan pasang kromosom ) disebut Trisomi.
Aneuploidi yang kromosomnya kurang satu disebut Monosomi.
2.    Kelainan struktur kromosom.
Kelainan struktur kromosom terjadi jika kromosom pecah dan pecahnya hilang / melekat pada kromosom lain disebut Translokasi.
American Assosiation on Mental Retardation 1992 menggolongkan penyebab retardasi mental menjadi 3 golongan :
1.     Penyebab Prenatal.
Penyebab termasuk penyakit kromosom dan gangguan metabolisme sejak lahir.


2.    Perinatal.
Penyebabnya berhubungan dengan masalah intrauterin seperti abrusi plasenta,diaberes maternal dan kelahiran prematur kondisi neonatal ( Meningitis dan perdarahan intrakranial ).
3.    Pasca natal.
Terjadi karena kondisi seperti cedera kepala, infeksi, gangguan degeneratif, defisit sensori, gangguan psikiatrik dan kejang bila retardasi mental yang berat.

KOMPLIKASI
@ Serebral palsi.
@ Gangguan kejang.
@ Gangguan kejiwaan.
@ Gangguan konsentrasi / Hiperaktif.
@ Konstipasi.

UJI LABORATORIUM
a.    Uji intelegensi standar.
b.    Uji perkembangan.
c.    Pengukuran fungsi adaptif.

PENATALAKSANAAN
§       Pada masa awal neonatus perawatan dilaksanakan  sebagaimana layaknya bayi normal.  Gangguan perkembangan kemampuan – kemampuan tertentu baru akan tampak kemudian.
§       Agar Orang tua secara batiniah dapat menerima anaknya, mereka memerlukan sokongan terutama pada tahun pertama kehidupan anak.
§       Latihan dini untuk kemampuan – kemampuan sederhana agar dapat menolong baik ibu maupun anak, misalnya untuk memakaikan baju, kekamar kecil dan lain – lain.
§       Ikut dalam kelompok therapi akan banyak membantu.
§       Anak yang lebih besar memerlukan sekolah khusus, sesekali anak dapat dikirim ke Rumah sakit.
§       Masalah medis : infeksi saluran napas berulang, defek pada jantung dapat diatasi secara individual.












BAB  III
ASKEP PADA ANAK DENGAN SINDROM DOWN

PENGKAJIAN KEPERAWATAN
Pengkajian ini terdiri atas evaluasi komprehensif mengenai kekurangan dan kekuatan yang berhubungan dengan ketrampilan adaptif :
ª      Komunikasi.
ª      Perawatan diri.
ª      Integrasi sosial.
ª      Penggunaan sarana – sarana di masyarakat.
ª      Pengarahan diri.
ª      Pemeliharaan.
ª      Pembentukan ketrampilan, rekreasi, ketenangan, kesehatan, dan keamanan bekerja.

DIAGNOSA KEPERAWATAN
1.     Koping keluarga tak efektif b/d perkembangan penyakit             ( Sindrom Down ).
Tujuan : - Keluarga mampu mengidentifikasi atau mengungkapkan diri mereka sendiri untuk mengatasi keadaan.
-          Keluarga mampu menerima kondisi orang yang dicintai dan mendemonstrasikan tingkah laku koping yang positif dalam mengatasi keadaan.

Intervensi :
1.1          Jelaskan pada keluarga tentang kondisi penyakit klien dan pengobatannya.
1.2         Libatkan semua keluarga dalam pendidikan dan perencanaan perawatan klien dirumah.
1.3         Bantu keluarga untuk memahami pentingnya mempertahankan fungsi psikososial.
1.4         Anjurkan keluarga realistis dan tulus dalam mengatasi semua permasalahan yang ada.
1.5         Anjurkan pada keluarga untuk melibatkan klien dalam kegiatan seperti bermain dengan anak seumurnya.
1.6         Rujuk keluarga ke lembaga tertentu untuk konseling genetik, konseling keluarga dengan retardasi mental.

2.    Perubahan proses pikir b/d keterlambatan perkembangan.
Tujuan : Klien mampu berpikir / bertingkah laku sesuai tingkat perkembangan.
Intervensi :
2.1         Kaji derajat gangguan kognitif seperti perubahan orientasi terhadap orang, tempat, waktu, rentang perhatian, dan kemampuan berpikir.
2.2        Pertahankan lingkungan yang menyenangkan dan tenang.
2.3        Gunakan kata – kata pendek dan kalimat sederhana saat berkomunikasi dengan klien.
2.4        Libatkan klien dalam setiap kegiatan dan fokuskan pada tingkah laku yang sesuai . 
2.5        Berikan penguatan positif seperti tepukan tangan, tepukan punggung,dan sentuhan.

3.    Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d ketidakmampuan untuk memasukkan dan mencerna makanan / kelemahan otot yang diperlukan untuk mengunyah / menelan.
Tujuan ; Kebutuhan nutrisi terpenuhi.
Intervensi :
3.1           Kaji kemampuan klien untuk mengunyah, menelan, batuk dan mengatasi sekresi.
3.2          Berikan makanan sedikit – sedikit dan sesuai dengan kemampuan klien mengunyah makanan.
3.3          Identifikasi makanan kesukaan dan ketidaksukaan klien.
3.4          Jaga keamanan saat memberikan makanan pada klien.
3.5          Tingkatkan kenyamanan lingkungan yang santai termasuk sosialisasi saat makan.
3.6          Kaji feses, cairan lambung / muntah, dan sebagainya.
3.7          Libatkan terapi atau fisiotherapi, jika masalah gangguan mekanisme reflek menelan masih ada seperti : kaku rahang, kontraktur pada tangan dan paralisis.



4.    Kurang perawatan diri b/d konseptual atau kognitif.
Tujuan ; Klien melakukan kegiatan perawatan diri sendiri dalam tingkat kemampuan sendiri.
Intervensi :
4.1  Kaji derajat kemampuan dan ketidakmampuan untuk melakukan kegiatan parawatan diri sehari – hari.
4.2        Berikan atau sediakan waktu yang cukup untuk melakukan kegiatan, tingkatkan kesabaran ketika pergerakan klien lambat.
4.3        Antisipasi kebutuhan kebersihan diri dan bantu sesuai dengan kebutuhan, seperti : perawatan kulit, kuku, rambut, perawatan mulut, dan sebagainya,
4.4        Berikan alat bantu perawatan sesuai dengan kegiatan perawatan diri.
4.5        Anjurkan pada keluarga untuk membantu klien dalam perawatan diri dan memberikan pengertian pada klien mengenai setiap kegiatan dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh klien.







KESIMPULAN



Sindrom Down merupakan kelainan kromosom yang sering terjadi.  Sindrom Down mencakup 3 keadaan yaitu :
  1. Non Disjunction ( 94 % )
  2. Mozaikisme ( 3 % )
  3. Translikasi ( 3 % )
Dua tipe Sindrom Karakteristik antara lain kelainan dalam jumlah dan kelainan struktur kromosom.  AAMR 1992 menggolongkan penyebab retardasi mental menjadi tiga golongan :
  1. Penyebab prenatal
  2. Perinatal
  3. Pasca natal
Komplikasi Sindrom Down yaitu Serebral palsi, gangguan kejang, gangguan kejiwaan, gangguan konsentrasi / hiperaktif dan konstipasi.



DAFTAR PUSTAKA



PengkajianPediatrik;JoyceEngelAlih bahasa;Teresa;Editor,Setiawan edisi 2.Jakarta EGC,1998.

Ikhtisar Penyakit Anak,Edisi 6;John Kendle,Short O.P Gray-JA.Dege.

Askep pada anak;Suriadi,S.Kp dan Rita Yuliani,S.Kp,edisi 1,Jakarta PT.Fajar Pratama,2001.










Wednesday, May 30, 2018

Makalah Asuhan Keperawatan Anak dengan Demam Thypoid


BAB I

PENDAHULUAN


A      Latar Belakang

Seiring dengan kemajuan zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan termasuk di dalamnya ilmu keperawatan maka berkembang pulalah berbagai jenis penyakit yang ada dalam masyarakat, yang diiringi dengan meningkatnya tuntutan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang yang terletak di daerah tropis dengan kepadatan pendudukan yang tinggi (+ 250 juta) sangat beresiko terhadap terjangkitnya berbagai macam jenis penyakit infeksi yang disebabkan oleh sanitasi lingkungan dan higiene perseorangan yang kurang baik.
Salah satu penyakit infeksi yang sering timbul di negara berkembang adalah typhoid fever, yang merupakan penyakit endemik di Indonesia dan insiden tertinggi didapatkan pada anak-anak karena daya tahan tubuh dan sistem  kekebalan mereka tidak seperti orang dewasa. Orang dewasa sering mengalami infeksi ringan yang sembuh sendiri dan menjadi kebal. Insiden pada pasien yang berumur 12 ke atas, adalah 70 – 80% pasien berumur 12 – 30 tahun, 10 – 20% pasien berumur 30 – 40 tahun dan hanya 5 – 10% pasien berusia di atas 40 tahun. Penyakit ini termasuk penyakit menular yang tercantum dalam undang-undang No. 6 Tahun 1962 tentang wabah. Kelompok penyakit menular ini merupakan penyakit yang mudah menular sehingga dapat menimbulkan wabah. Di Indonesia demam typhoid jarang dijumpai secara epidemik, tetapi lebih sering bersifat sporadis, terpencar-pencar di suatu daerah




B       Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan kerya tulis ini, ibedakan menjadi tujuan umum dan tujuan khusus.
1.      Tujuan Umum
Untuk mengetahui gambaran mengenai konsep dasar medis dan asuhan keperawatan pada pasien anak dengan Typhoid.
2.      Tujuan Khusus
a.       Mengetahui pengertian dari penyakit Typhoid secara teoritis
b.      Mengetahui secara teoritis tentang penyebab dari penyakit Typoid pada anak
c.       Mengetahui patofisiologi dari penyakit Typhoid pada anak secara teoritis
d.      Mengetahui tanda gejala yang timbul pada anak penderita penyakit Typhoid secara teoritis
e.       Mengetahui penatalaksanaan secara teori pada anak penderita Typhoid
f.       Mengetahui pemeriksaan diagnostik pada penderita tyiphoid
g.      Mengetahui secara teori tentang pencegahan penyakit typhoid
h.      Mengetahui komplikasi yang mungkin timbul pada anak yang terkena Typhoid
i.        Mengetahui dan memahami tentang pengkajian keperawatan pada klien dengan typhoid
j.        Membuat diagnosa keperawatan yang tepat pada klien dengan typhoid secara teori
k.      Membuat perencanaan tindakan keperawatan yang sesuai pada klien dengan typhoid fever secara teotitis.
l.        Mengetahui evaluasi yang diharapkan pada asuhan keperawatan dengan typhoid



C      Sistematika Penulisan
Penyusunan makalah ini terdiri dari empat bab, yang dimulai dari pendahuluan sampai penutup. Bab satu berisi tentang pendahuluan, yang di dalamnya menguraikan tentang latar belakang penulisan, tujuan penulisan, dan sistematika penulisan. Bab dua berisi tentang konsep dasar penyakit, meliputi pengertian, etiologi, patofisiologi, tanda dan gejala, penatalaksanaan, pemeriksaan diagnostik, pencegahan, komplikasi dan prognosis. Bab tiga berisi tentang asuhan keperawatan secara teoritis meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan, pelaksanaan dan evaluasi. Bab empat berisi penutup yang menguraikan tentang kesimpulan dan saran-saran.
















BAB II
KONSEP DASAR MEDIS


A.    Pengertian
Pengertian typhoid fever dikemukakan oleh para ahli yang berkecimpung dalam dunia kedokteran khususnya yang mendalami penyakit dalam. Berikut ini penulis akan menyajikan beberapa pengertian dari typhoid fever.
Thypoid abdominalis adalah penyakit infeksi usus halus yang disebabkan oleh kuman Salmonella Thyposa dengan gejala demam 1 minggu atau lebih disertai gangguan pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran. Penularannya secara faeco oral melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi kuman salmonella (Devid Werner,1993)
Thypoid abdominalis (Demam Thypoid, Enteric Fever) ialah penyakit infeksi akugt yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari 1 minggu, gangguan pada saluran pencernaan dan gangguan kesadaran (FKUI, 2000).
Typhoid abdominalis adalah infeksi penyakit akut yang biasanya terdapat pada saluran cerna dengan gejala demam lebih dari satu minggu dan terdapat gangguan kesadaran (Suryadi, 2001).
Typhoid abdominalis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Salmonella typhi atau Salmonella Paratyphii A, B dan C. Berdasarkan definisi di atas penulis menyimpulkan bahwa typhoid fever adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh kuman Salmonella typosa dengan gejala demam lebih dari satu minggu, gangguan pada saluran pencernaan bahkan gangguan kesadaran (Soedarto,1992)


Penyebarannya melalui lima F yaitu :
1)             Feses (tinja)
2)             Flies (lalat)
3)             Food (makanan)
4)             Finger (jari tangan)
5)             Fomites (muntah)

B.     Etiologi

Penyebab penyakit typhoid fever secara umum adalah kuman Salmonella typhi yang merupakan kuman gram negatif dan tidak menghasilkan spora. Kuman Salmonella typhii ini dapat hidup baik pada suhu manusia (36 – 37oC) maupun pada suhu yang lebih rendah dari 36 oC, serta mati pada suhu 70 oC maupun oleh anti septik. Saat ini diketahui bahwa kuman ini hanya menyerang manusia. Salmonella typhii mempunyai tiga macam antigen yaitu:
1)        Antigen O = Ohne Hauch: somatic antigen (tidak menyebar)
2)        Antigen H = Hauch (menyebar) terdapat pada flagella dan bersifat termolabil.
3)        Antigen V1 = kapsul; merupakan kapsul yang meliputi tubuh kuman dan melindungi O antigen terhadap fagositosis.
 

C.    Patofisiologi

Kuman Salmonella thyposa masuk ke dalam tubuh manusia melalui makanan dan minuman yang tercemar. Setelah kuman masuk ke dalam mulut ketika orang makan dan minum, makanan masuk ke lambung dan bercampur dengan HCl. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian masuk ke usus halus yang mencapai jaringan limfoid plaque di ilium terminalis yang mengalami hipertropi. Jika bakteri masuk bersama-sama cairan, maka terjadi pengenceran asam lambung yang mengurangi daya hambat terhadap mikroorganisme penyebab penyakit. Daya hambat asam lambung ini juga akan menurun pada waktu terjadi pengosongan lambung, sehingga bakteri akan lebih leluasa masuk ke dalam usus penderita, memperbanyak diri dengan cepat, kemudian memasuki saluran limfe dan akhirnya mencapai aliran darah. Kuman Salmonella thyposa kemudian menembus ke lamina propia, masuk aliran limfe dan mencapai kelenjar limfe mesenterial, yang juga mengalami hipertropi. Setelah melewati kelenjar-kelenjar limfe ini Salmonella typhi masuk aliran darah melalui ductus thorasicus. Kuman-kuman Salmonella typhi lain mencapai hati melalui sirkulasi portal dari usus. Salmonella typhi  bersarang di plaque payeri, limfa, hati dan bagian-bagian lain sistem retikuloendotelial. Demam disebabkan karena Salmonella typhi dan endotoksinnya merangsang sintesis dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan yang meradang. Adapun reaksi kuman terhadap tubuh manusia melakukan aktifitas terbesar pada sistem retikuloendotelial dan empedu dimana organ yang lebih dahulu diserang adalah usus.
Skema Patofisiologi Typhoid Fever

Salmonella typhosa

Saluran pencernaan

Diserap oleh usus halus

Bakteri memasuki aliran darah sistemik
 


                                                                                         endotoksin
                                                                          
Kelenjar limfoid usus halus               hati          limpa     Demam


                Tukak                         Hepatogemali    splenomegali

Perdarahan dan perforasi           Nyeri perabaan                       
( Arief Mansjoer, 2002 )

Pada hakikatnya aktifitas dari kuman Salmonella typhi dibagi menjadi empat tingkatan :
1.         Tingkat I
Merupakan masa inkubasi 10 – 14 hari, pada tingkat ini terjadi proliferasi dari susunan retikuloendotelial yang mempunyai sel mononukleus dimana sitoplasma yang mengandung eritrosit akan bereaksi dengan jaringan nekrotik atau kuman sampai membentuk sel yang dinamakan sel Typhoid. Akibat fagositosis tersebut jaringan limfoid akan melebar mengakibatkan pelebaran pembuluh darah, sehingga susunan retikuloendotelial yang terdapat pada sumsum tulang belakang dan  hemopoesis menjadi rusak akibatnya pembentukan leukosit menurun. Pada tingkat ini, bercak payeri, limphonoduli akibat hyperemi dan hiperplasi tampak membengkak dan menonjol ke atas permukaan selaput lendir.
2.         Tingkat II
Terjadi nekrosis jaringan lympoid yang membengkak dan mengeras seperti kerak. Oleh sebab itu tingkat ini disebut tingkat keropeng karena bentuknya seperti keropeng yang berwarna kuning kelabu.
3.         Tingkat III
Keropeng yang terdiri dari jaringan nekrosis dilepaskan sampai terbentuk tukak (ulkus) pada bercak tadi. Tukak tersebut lonjong memanjang menurut poros usus. Tepi tukak jelas dan menebal, ada yang dangkal, ada yang dalam sampai dasarnya menembus sub serosa bahkan sampai ke lapisan otot sehingga terjadi perforasi yang menyebabkan peritonitis dan syok.

4.       Tingkat IV
Disebut tingkat resolusi (pembersihan atau penyembuhan) jika tidak ada perforasi. Selain menyerang usus penyakit ini juga menyerang bagian lain seperti :
a.         Limfa sebagai akibat proliferasi susunan retikuloendotel dan hiperplasi, sel pulpa merah akan membesar ( splenomegali ) hati juga membesar ( hepatomegali ).
b.        Kandung empedu terserang karena kuman hidup dan masuk ke dalam kandung empedu sehingga menyebabkan kolesistitis.
c.         Pada ginjal menyebabkan degenerasi bengkak keruh, sehingga sel tubulus mengandung kuman, tubulus rusak dan glomerulus filtrasinya terhambat.
d.        Toxemia akan terjadi dan mengakibatkan perubahan pada otot seperti degenerasi hyalin pada dinding otot perut, diafragma dan otot betis.

 

D.    Tanda dan Gejala

a.                                                      Demam
Gejala timbul selama masa inkubasi sekitar dua minggu. Pada minggu pertama suhu berangsur naik dan febris bersifat remitten atau panas hanya pada waktu sore dan malam hari. Gejala panas tidak akan turun dengan antipiretik, tidak menggigil, tidak berkeringat, kadang-kadang disertai dengan epistaksis.
b.         Tanda dan Gejala pada sistem Gastro Intestinal
1)      Bibir kering dan pecah-pecah, lidah kotor dan berselaput putih, hyperemi.
2)      Perut kembung, nyeri tekan
3)      Limfa membesar, lunak dan nyeri pada saat penekanan
4)      Pertama kali pasien mengalami diare, kemudian obstipasi
5)      Tanda-tanda dehidrasi
6)      Tanda-tanda perdarahan dan tanda-tanda shock
c.     Leukopeni
d.    Tingkat kesadaran
Dapat terjadi penurunan kesadaran dari ringan sampai berat, pada umumnya apatis sampai samnolen bahkan dapat terjadi koma. Penurunan kesadaran ini disebabkan karena panas tubuh yang tinggi.
e.    Bradikardi
Peningkatan suhu tidak disertai dengan peningkatan nadi dimana seharusnya setiap kenaikan suhu 1oC diikuti dengan kenaikan nadi 10 – 15 x/menit, sedangkan pada penderita ini kenaikan nadi lebih rendah dari kenaikan suhu.

E.     Pemeriksaan Diagnostik   
«  Pemeriksaan laboratorium
a.       Darah tepi
Terdapat gambaran leukopenia, limfositosis relatif pada permulaan sakit. Mungkin terdapat anemia dan trombositopenia ringan. Pemeriksaan darah tepi ini sederhana dan mudah dikerjakan di laboratorium yang sederhana, tetapi hasilnya berguna untuk membantu untuk menentukan penyakitnya dengan cepat (adakalanya dilakukan pemeriksaan sumsum tulang tetapi sangat jarang sekali) bila hal itu dilakukan daerah yang akan dipungsi, dapat pada tibia, perlu dilakukan pembersihan ekstra kemudian dikompres dengan alkohol 70%.
b.      Darah untuk kultur (biakan empedu) dan widal.
Biakan empedu untuk menemukan Salmonella thypii dan pemeriksaan widal merupakan pemeriksaan yang dapat menentukan diagnosis typhoid fever secara pasti. Pemeriksaan ini perlu dikerjakan pada waktu masuk dan setiap minggu berikutnya. (diperlukan darah sebanyak 5 cc untuk kultur atau widal).

1)      Biakan Empedu
Biakan empedu basil Salmonella thypii dapat ditemukan dalam darah pasien pada minggu pertama sakit. Selanjutnya lebih sering ditemukan dalam urin dan feses, dan mungkin akan tetap positif untuk waktu yang lama. Oleh karena itu, pemeriksaan yang positif dari contoh darah digunakan untuk menegakkan diagnosis, sedangkan untuk pemeriksaan negatif dari contoh urin dan feses dua kali berturut-turut digunakan untuk menentukan apakah pasien telah benar sembuh dan tidak menjadi pembawa kuman (karier).
2)      Pemeriksaan Widal
Dasar pemeriksaan ialah reaksi aglutinasi yang terjadi bila serum pasien thypoid dicampur dengan suspensi antigen Salmonella typhii. Pemeriksaan yang positif ialah bila terjadi reaksi aglutinasi. Dengan jalan mengencerkan serum, maka kadar zat anti dapat ditentukan, yaitu pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan reaksi aglutinasi. Untuk membuat diagnosis yang diperlukan ialah titer zat anti terhadap antigen O. Titer yang bernilai 1/200 atau lebih dan atau menunjukkan kenaikan yang progresif digunakan untuk membuat diagnosis. Titer tersebut mencapai puncaknya bersamaan dengan penyembuhan pasien. Titer terhadap antigen H tidak diperlukan untuk diagnosis karena  dapat tetap tinggi setelah mendapat imunisasi atau bila pasien telah lama sembuh. Pemeriksaan widal tidak selalu positif walaupun pasien sungguh-sungguh menderita typhoid fever (disebut negatif semu). Sebaliknya titer dapat positif semu karena keadaan sebagai berikut :
a)      Titer O dan H tinggi karena terdapatnya aglutinin normal, karena infeksi basil coli patogen pada usus.
b)      Pada neonatus, zat anti tersebut diperoleh dari ibunya melalui tali pusat.
c)      Terdapatnya infeksi silang dengan rickettsia (weil felix).
d)     Akibat imunisasi secara alamiah, karena masuknya basil peroral pada keadaan infeksi subklinis.
Perlu diketahui bahwa ada jenis dari demam typhoid yang mempunyai gejala hampir sama, hanya dengan demam biasanya tidak terlalu tinggi (lebih ringan) ialah terdapat pada paratifoid A, B, C, untuk menemukan kuman penyebab perlu pemeriksaan darah seperti pasien typhoid biasa.

F.     Penatalaksanaan

Sampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksanaan demam tifoid, yaitu :
    1. Pemberian antibiotik; untuk menghentikan dan memusnahkan penyebaran kuman. Antibiotik yang dapat digunakan:
1)        Kloramfenikol; dosis hari pertama 4 x 250 mg, hari kedua 4 x 500 mg, diberikan selama demam dilanjutkan sampai dua hari bebas demam, kemudian dosis diturunkan menjadi 4 x 250 mg selama lima hari kemudian. Penelitian terakhir (Nelwan, dkk. di RSUP Persahabatan), penggunaan kloramfenikol masih memperlihatkan hasil penurunan suhu empat hari, sama seperti obat-obat terbaru dari jenis kuinolon.
2)        Ampisilin/Amoksilin; dosis 50 – 150 mg/kg BB, diberikan selama dua minggu.
3)        Kotrimoksazol; 2 x 2 tablet (1 tablet mengandung 400 mg sulfametoksazol-80 mg trimetoprim, diberikan selama dua minggu.
4)        Sefalosporin generasi II dan III. Di subbagian penyakit tropik dan infeksi FKUI-RSCM, pemberian sefalosporin berhasil mengatasi demam tifoid dengan baik. Demam umumnya mereda pada hari ketiga atau menjelang hari keempat.
Regimen yang dipakai adalah :
a)      Seftriakson 4 gr/hari selama tiga hari
b)      Norfloksasin 2 x 400 mg/hari selama 14 hari
c)      Siprofloksasin 2 x 500 mg/hari selama enam hari
d)     Ofloksasin 600 mg/hari selama tujuh hari
e)      Pefloksasin 400 mg/hari selama tujuh hari 
f)       Fleroksasin 400 mg/hari selama tujuh hari.
    1. Istirahat dan perawatan profesional; bertujuan mencegah komplikasi dan mempercepat penyembuhan. Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal tujuh hari bebas demam atau kurang lebih selama 14 hari. Duduk dilakukan pada hari kedua bebas panas, berdiri dilakukan pada hari ketujuh bebas panas, berjalan dilakukan pada hari kesepuluh bebas panas. Mobilisasi dilakukan bertahap sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien. Dalam perawatan perlu sekali dijaga kebersihan diri, kebersihan tempat tidur, pakaian, dan peralatan yang dipakai oleh pasien. Pasien dengan kesadaran menurun, posisinya perlu diubah-ubah untuk mencegah dekubitus dan pneumonia hipostatik. Defekasi dan buang air kecil perlu diperhatikan karena kadang-kadang terjadi obstipasi dan retensi urin.
c.          Diet dan terapi penunjang (simtomatis dan suportif)
Pertama pasien diberi diet bubur saring, kemudian bubur kasar, dan akhirnya nasi biasa sesuai tingkat kesembuhan pasien. Namun beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemberian makanan padat dini, yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa (pantang sayuran dengan serat kasar) dapat diberikan dengan aman. Juga diperlukan pemberian vitamin dan mineral yang cukup untuk mendukung keadaan umum pasien. Diharapkan dengan menjaga keseimbangan dan homeostasis, sistem imun akan tetap berfungsi dengan optimal.
Pada kasus perforasi intestinal dan rejatan septik diperlukan perawatan intensif dengan nutrisi parenteral total. Spektrum antibiotik maupun kombinasi beberapa obat yang bekerja secara sinergis dapat dipertimbangkan. Kortikosteroid selalu perlu diberikan pada rejatan septik. Prognosis tidak begitu baik pada kedua keadaan di atas.

G.    Pencegahan
Usaha pencegahan typhoid fever dibagi dalam :
a.          Usaha terhadap lingkungan hidup
1)      Penyediaan air minum atau bersih
2)      Pembuangan kotoran manusia yang higienis pada tempatnya
3)      Pemberantasan lalat dan senantiasa menutup makanan
4)      Pengawasan terhadap rumah makan dan penjual makanan
b.         Usaha terhadap manusia
1)      Pendidikan kesehatan terhadap masyarakat
2)      Menemukan dan atau mengawasi carier typhoid
3)      Imunisasi

 

H.    Komplikasi

Komplikasi demam typhoid dibagi dalam:
a.          Komplikasi Intestinal
1)        Perdarahan usus: perdarahan sedikit ditemukan jika dilakukan pemeriksaan tinja dengan bensidin. Bila perdarahan banyak terjadi melena dan bila berat dapat disertai perasaan nyeri perut dengan tanda-tanda rejatan.
2)        Perforasi usus, timbul biasanya pada minggu kedua atau setelah itu dan terjadi pada bagian distal ileum. Perforasi yang tidak disertai peritonitis hanya dapat ditemukan bila terdapat udara di rongga peritonium yaitu pekak hati menghilang dan terdapat udara diantara hati dan diafragma pada foto rontgen abdomen yang dibuat dalam keadaan tegak.
3)        Peritonitis, biasanya menyertai perforasi tapi dapat terjadi tanpa perforasi usus. Ditemukan gejala abdomen akut yaitu nyeri perut yang hebat, dinding abdomen tegang (defence musculair) dan nyeri pada tekanan.
4)        Ileus paralitik.
b.         Komplikasi ekstra intestinal
1)        Komplikasi kardiovaskuler: kegagalan sirkulasi perifer (rejatan, sepsis), miokarditis, trombosis dan tromboflebitis.
2)        Komplikasi darah: anemia hemolitik, trombositopenia dan atau koagulasi intravaskular diseminata, dan sindrom uremia hemolitik.
3)        Komplikasi paru:  pneumonia, empiema, dan pleuritis.
4)        Komplikasi hepar dan kandung kemih; hepatitis dan kolelitiasis.
5)        Komplikasi ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis, dan perinefritis.
6)        Komplikasi tulang: osteomielitis, periostitis, spondilitis, dan artritis.
7)        Komplikasi neuropsikiatrik: delirium, miningismus, meningitis, polineuritis perifer, sindrom Guillain-Barre, psikosis, dan sindrom katatonia.

I.       Prognosis

Umumnya prognosis demam pada anak baik asal penderita cepat berobat. Mortalitas pada penderita yang dirawat adalah 6%. Prognosis menjadi kurang baik atau buruk bila terdapat gejala klinis yang berat  seperti :
a.         Panas tinggi (hiperpireksia) atau febris kontinue.
b.         Kesadaran turun sekali seperti delirium, sopor atau koma.
c.         Terdapat komplikasi yang berat seperti dehidrasi dan asidosis, peritonitis, bronkhopneumonia dan lain-lain.
d.        Keadaan gizi penderita anak (malnutrisi energi protein)

Relaps (kambuh)
Relaps adalah berulangnya gejala typhoid, akan tetapi berlangsung lebih ringan dan singkat. Terjadi pada minggu kedua setelah suhu badan kembali normal. Terjadinya sukar diterangkan. Menurut teori, relaps terjadi karena terdapatnya basil dalam organ-organ yang tidak dapat dimusnahkan, baik oleh obat maupun zat anti. Mungkin terjadi pada waktu penyembuhan tukak, terjadi invasi basil bersamaan dengan pembentukan jaringan-jaringan fibrosis.



















BAB III
KONSEP DASAR ASUHAN KEPRAWATAN

Proses keperawatan adalah masalah yang dinamis dalam usaha memperbaiki atau memelihara pasien ke taraf yang optimal melalui suatu pendekatan yang sistematis untuk mengenal dan membantu memenuhi kebutuhan pasien. Proses keperawatan terdiri dari lima tahap yaitu :
a.       Pengkajian
b.                                                                                                            Diagnosa keperawatan
c.                                                                                                             Perencanaan
d.                                                                                                            Evaluasi

1.      Pengkajian
Aktivitas/ Istirahat
Gejala :
Tanda :

Keletihan, kelelahan, malaise
Ketidakmampuan melakukan aktivitas sehari – hari karena keletihan, peningkatan suhu secara akut.
Sirkulasi
Gejala :
Tanda :

~
Dalam keadaan normal nadi dimana seharusnya setiap kenaikan suhu 1oC diikuti dengan kenaikan nadi 10 – 15 x/menit, sedangkan pada penderita ini kenaikan nadi lebih rendah dari kenaikan suhu.
Integritas Ego
Gejala :

Tanda :

Peningkatan faktor resiko, perubahan pola kegiatan/aktivitas
Ansietas, ketakutan, peka rangsang.

Makanan/Cairan
Gejala :

Tanda :

Mual/Muntah, anoreksia, penurunan berat badan.
Turgor kulit buruk, sering berkeringat, penurunan berat badan, penurunan masa otot/ lemak sub kutan. 
Hygiene
Gejala :


Tanda :

Penurunan kemampuan melakukan aktivitas/ peningkatan kebutuhan bantuan melakukan aktivitas sehari – hari.
Kebersihan buruk, badan berbau.
Keamanan
Gejala :
Tanda :

Adanya infeksi berulang
~
Interaksi Sosial
Gejala :
Tanda :

Hubungan ketergantungan
Kelalaian huungan dengan orang lain/ anggota keluarga.

2.      Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada kasus typhoid fever, yang diambil beberapa literatur yaitu Carpenito (1999; hal 192) dan Doenges (1999; hal 471), adalah sebagai berikut:
a.       Peningkatan suhu tubuh b/d rangsangan endotoksin terhadap sintesa dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit terhadap jaringan yang meradang, perubahan pada regulasi temperatur, peningkatan tingkat metabolisme, penyakit.
b.      Gangguan rasa nyaman (nyeri abdomen) b/d proses inflamasi usus; iritasi, perforasi.
c.       Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi (kurang dari kebutuhan tubuh) b/d intake inadekuat; disfungsi usus, abnormalitas metabolik, pembatasan makanan secara medik.
d.      Gangguan keseimbangan volume cairan b/d output yang berlebihan; gangguan absorpsi cairan misalnya kehilangan fungsi kolon, status hipermetabolik misalnya inflamasi dan proses penyembuhan.
e.       Intoleran aktifitas b/d kelemahan fisik.
f.       Resiko terjadi komplikasi (Peritonitis) b/d invasi kuman menembus lumen usus.
g.      Kurang pengetahuan keluarga (kebutuhan belajar) mengenai penyakit, prognosis, pengobatan, dan perawatan b/d kurang pemajanan/mengingat, kesalahan interpretasi informasi, tidak mengenal sumber informasi, keterbatasan kognitif.

3.      Perencanaan
a.      Dx I : Peningkatan suhu tubuh b/d rangsangan endotoksin terhadap sintesa dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan yang meradang, perubahan pada regulasi temperatur.
Tujuan: Suhu tubuh kembali normal.
Kriteria hasil :  
«  Mendemonstrasikan suhu dalam batas normal (36 – 37,5oC), mukosa bibir lembab, turgor kulit baik.
«  Bebas dari kedinginan.
«  Tidak mengalami komplikasi yang berhubungan.
Rencana Tindakan:
1.      Kaji tingkat kenaikan suhu tubuh dan perubahan yang menyertai.      
2.      Beri kompres hangat pada daerah dahi, aksila dan lipat paha
3.      Monitor tanda vital setiap satu jam.
4.      Anjurkan orang tua untuk memberi banyak minum.
5.      Anjurkan orang tua untuk memakaikan pakaian yang tipis dan menyerap keringat serta membatasi jumlah selimut.
6.      Kolaborasi dengan tim medis untuk pemberian antipiretik contoh paracetamol.

b.      Dx II :  Gangguan rasa nyaman (nyeri abdomen) berhubungan dengan proses inflamasi usus; perforasi.
Tujuan: Melaporkan nyeri hilang atau terkontrol.
Kriteria hasil:
«  Tampak rileks dan mampu beristirahat dengan nyaman.
«  Mempraktekkan tindakan pereda nyeri non invasif untuk mengatasi nyeri.
Rencana Tindakan:
1.      Kaji  lokasi, intensitas ( skala 0-10 ), dan karakteristik nyeri (menetap, hilang timbul, kolik)
2.      Bantu klien untuk mengatur posisi senyaman mungkin.
3.      Ajarkan dan bantu klien dalam melakukan tehnik relaksasi.
4.      Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian analgetik bila nyeri berlanjut.

c.       Dx  III : Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi (kurang dari kebutuhan tubuh) berhubungan dengan intake inadekuat; disfungsi usus, abnormalitas metabolit, pembatasan makanan secara medik.
Tujuan: Mempertahankan berat badan/menunjukkan peningkatan berat badan bertahap sesuai tujuan.
Kriteria hasil:
«  Nilai laboratorium normal
«  Bebas tanda mal nutrisi
«  Merencanakan diet untuk memenuhi kebutuhan nutrisi/membatasi gangguan gastro intestinal.



Rencana Tindakan :
1.      Kaji pola kebutuhan nutrisi klien
2.      Timbang berat badan setiap hari.
3.      Berikan suasana menyenangkan pada saat makan, hilangkan rangsangan berbau.
4.      Berikan makanan selingan yang tersedia selama 24 jam.
5.      Berikan makanan dalam porsi kecil tapi sering dan dalam keadaan hangat.
6.      Kolaborasi dengan ahli gizi untuk pemberian nutrisi rendah serat dan cukup protein, lemak,  karbohidrat dan zat gizi lainnya.

d.      Dx IV : Gangguan keseimbangan volume cairan berhubungan dengan output yang berlebihan; gangguan absorpsi cairan misalnya kehilangan fungsi kolon, status hipermetabolik misalnya inflamasi, proses penyembuhan.
Tujuan: Menunjukkan perbaikan keseimbangan cairan
Kriteria hasil:
«  Haluaran urin adekuat dengan berat jenis normal
«  tanda vital stabil,
«  membran mukosa lembab turgor kulit baik,
«  dan pengisian kapiler cepat.
Rencana Tindakan :
1.      Kaji tingkat dehidrasi yang dialami oleh klien.
2.      Awasi jumlah dan tipe masukan cairan, ukur haluaran urine dengan akurat.
3.      Anjurkan orang tua untuk memberi minum banyak (6-8 gelas/ 2000-2500 cc setiap hari).
4.      Jelaskan pada orang tua pentingnya cairan bagi tubuh, terutama pada saat demam.
5.      Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian antipiretik dan cairan perparenteral
e.       Dx V :  Intoleran aktifitas berhubungan dengan kelemahan fisik
Tujuan: Mendemonstrasikan peningkatan aktifitas yang dapat ditoleransi.
Kriteria hasil:
«  Mengungkapkan pengertian tentang aktifitas yang diperbolehkan dan dibatasi
«  Mengungkapkan pengertian tentang perlunya menyeimbangkan akftifitas dan waktu istirahat
«  Mengungkapkan berkurangnya kelemahan dan dapat beristirahat cukup dan hampir mampu melakukan kembali aktifitas sehari-hari yang memungkinkan.
Rencana Tindakan:
1.      Kaji tingkat kemampuan klien dalam melakukan aktifitas.
2.      Bantu klien dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari dan melakukan mobilisasi secara aktif.
3.      Jelaskan kepada orang tua tujuan dari immobilisasi selama perawatan anaknya.
4.      Stimulasi anak dengan therapi bermain, dengan menggunakan permainan yang pasif selama bedrest.

f.       Dx.VI : Resiko terjadi komplikasi (Peritonitis) berhubungan dengan invasi kuman menembus lumen usus.
Tujuan: Tidak terjadi komplikasi dan mencapai penyembuhan tepat pada waktunya.
Kriteria hasil:
«  Bebas dari demam, nyeri.
«  Tanda vital dalam batas normal
«  Nilai laboratorium normal
Rencana Tindakan :
1.      Kaji faktor yang dapat menyebabkan terjadinya komplikasi.
2.      Ubah posisi berbaring pasien setiap satu jam.
3.      Berikan penjelasan kepada keluarga mengenai faktor yang dapat menjadi komplikasi.

g.      Dx.VII : Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) tentang penyakit, prognosis, pengobatan dan perawatan berhubungan dengan kurang pemajanan/mengingat, kesalahan interpretasi informasi, tidak mengenal sumber informasi, keterbatasan kognitif.
Tujuan: Menyatakan pemahaman proses penyakit, prognosis, pengobatan dan perawatan.
Kriteria hasil:
«  Mengungkapkan informasi akurat tentang diagnosa dan aturan pengobatan pada tingkatan kesiapan diri sendiri
«  Melakukan dengan benar prosedur yang diperlukan dan menjelaskan alasan tindakan
«  Melakukan perubahan gaya hidup yang perlu dan berpartisipasi dalam aturan pengobatan
«  Mengidentifikasi atau menggunakan sumber yang tersedia dengan tepat.
Rencana Tindakan :
1.      Kaji tingkat pengetahuan keluarga, termasuk berapa banyak informasi diperlukan.
2.      Beri informasi tentang penyakit, prognosis, pengobatan dan perawatan. Ulangi penjelasan bila diperlukan.
3.      Beri kesempatan kepada klien dan keluarga untuk menanyakan hal-hal yang belum jelas.
4.      Beri feedback/umpan balik terhadap pertanyaan yang diajukan oleh keluarga atau klien.




4.      Evaluasi
Evaluasi yang diharapkan dari intervensi yang dilakukan :
1.      Suhu tubuh anak menunjukkan batas normal 36 0C – 37,5 0C
2.      Tidak terjadi komplikasi apapun pada anak
3.      Anak dapat beraktivitas dengan toleransi yang baik
4.      Keluarga mengerti tentang kondisi anak, tentang penyakit, pengobatan, pencegahan, pengobatan serta prognosis penyakit
5.      Intake dan outpu cairan terpenuhi dengan baik
6.      intake dan output diit  balance sesuai dengan kondisi anak





















                                                                                   










BAB IV
PENUTUP

A.    Kesimpulan
1.      Typhoid fever adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh kuman Salmonella typosa dengan gejala demam lebih dari satu minggu, gangguan pada saluran pencernaan bahkan gangguan kesadaran
2.      Penyebab penyakit typhoid fever secara umum adalah kuman Salmonella typhi yang merupakan kuman gram negatif dan tidak menghasilkan spora
3.      Tanda dan gejala yang timbul pada penderita typhoid ialah demam, perut kembung, limpa membesar, leukopeni, kesadaran menurun, bradikardi dll
4.      Pemeriksaan penunjang pada penyakit typhoid yaitu pemeriksaan darah tepi dan pemeriksaan darah untuk kultur ( biakan empedu dan pemeriksaan widal )
5.      Penatalaksanaan yang dapat dilakukan terhadap penderita penyakit typhoid ialah dengan pemberian antibiotik, istirahat dan perawatan profesional, serta diit dan terapi penunjang ( simptomatis dan suportif )
6.      Pencegahan terhadap penyakit typhoid dapat dilakukan pencegahan terhadap lingkungan seperti penyediaan air minum yang bersih dan pencegahan terhadap manusia seperti imunisasi
7.      Komplikasi demam typhoid dibagi dalam komplikasi intra intestinas dan komplikasi ekstra intestinal
8.      Umumnya prognosis demam pada anak baik asal penderita cepat berobat. Mortalitas pada penderita yang dirawat adalah 6%.
9.      Pengakajian yang dilakukan meliputi berbagai sistem seperti :
a.       Aktivitas/ istirahat
b.      Sirkulasi
c.       Integritas ego
d.      Makanan/cairan
e.       Hygiene
f.       Keamanan
g.      Interaksi sosial
10.  Diagnosa keperawatan dari anak dengan Typhoid
a.       Peningkatan suhu tubuh b/d rangsangan endotoksin terhadap sintesa dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit terhadap jaringan yang meradang, perubahan pada regulasi temperatur, peningkatan tingkat metabolisme, penyakit.
b.      Gangguan rasa nyaman (nyeri abdomen) b/d proses inflamasi usus; iritasi, perforasi.
c.       Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi (kurang dari kebutuhan tubuh) b/d intake inadekuat; disfungsi usus, abnormalitas metabolik, pembatasan makanan secara medik.
d.      Gangguan keseimbangan volume cairan b/d output yang berlebihan; gangguan absorpsi cairan misalnya kehilangan fungsi kolon, status hipermetabolik misalnya inflamasi dan proses penyembuhan.
e.       Intoleran aktifitas b/d kelemahan fisik.
f.       Resiko terjadi komplikasi (Peritonitis) b/d invasi kuman menembus lumen usus.
g.      Kurang pengetahuan keluarga (kebutuhan belajar) mengenai penyakit, prognosis, pengobatan, dan perawatan b/d kurang pemajanan/mengingat, kesalahan interpretasi informasi, tidak mengenal sumber informasi, keterbatasan kognitif.
11.  Perencanaan yang dapat dilakukan dapat sesuai dengan kondisi yang ada pada si anak sesuai dengan teoritis.
12.  Evaluasi yang diharapkan dari intervensi yang dilakukan :
a.       Suhu tubuh anak menunjukkan batas normal 36 0C – 37,5 0C
b.      Tidak terjadi komplikasi apapun pada anak
c.       Anak dapat beraktivitas dengan toleransi yang baik
d.      Keluarga mengerti tentang kondisi anak, tentang penyakit, pengobatan, pencegahan, pengobatan serta prognosis penyakit
e.       Intake dan outpu cairan terpenuhi dengan baik
f.       Intake dan output diit  balance sesuai dengan kondisi anak

B.     Saran
1.      Anak sangat rentan terhadap berbagai penyakit oleh sebab itu pengawasan terhadap anak sangat perlu sebagai upaya pencegahan terhadap penyakit typhoid
2.      Menjaga lingkungan rumah dan hyigienitas makanan dan minuman merupakan langkah yang terbaik untuk mencegah penyakit
3.      Kenali setiap kelainan yang terjadi pada anak
4.      Segera bawa anak ke Rumah sakit, klinik atau puskesmas bila ada kelainan yang terjadi pada anak
5.      Anak adalah buah hati maka rawatlah anak sesuai dengan usia dan pertumbuhannya agar tidak terjangkit berbagai penyakit salah satunya penyakit Typhoid yang sering terkena pada anak
6.      Ingat!!!!!!!! Mencegah Lebih Baik dari Mengobati!!!!!!!!















DAFTAR PUSTAKA


*      Carpenito, Lynda Juall. 1999. Rencana Dan Dokumentasi Keperawatan. Edisi 2.Jakarta : EGC.
*      Doenges, Marylin E, dkk. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta: EGC.
*      Mansjoer Arif, et. Al., 1999. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 2. Jakarta: Media Aesculapius.
*      Mansjoer Arif, et. Al., 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius.
*      Nursalam. 2001. Proses dan Dokumentasi Keperawatan. Edisi 1. Jakarta: Salemba Medika.
*      Rampengan, T. H. 1997. Penyakit Tropik Pada Anak. Jakarta: EGC.
*      Suradi, Rita Juliani, dkk. 2001. Asuhan Keperawtan pada Anak. Edisi 1. Jakarta: PT. Fajar Inter Pratama.